Selasa, 06 Mei 2014

DALALAH NASH DAN PENGGUNAANNYA



PEMAHAMAN DALALAH, NASH DAN PENGGUNAANNYA
SUB BAGIAN
JALAN DALALAH (PETUNJUK) NASH

I.       Pendahuluan
Sumber hukum Islam sesungguhnya bagaikan mata air yang tak pernah kering bahkan memiliki deposit yang mampu menyirami setiap perkembangan hukum Islam yang memenuhi tuntutan keadilan dan kepentingan / mashlahat ummat sepanjang masa.
Para ulama Islam sepakat bahwa setiap peristiwa / kejadian, terkait didalamnya ketentuan hukum syari’at. Hukum tersebut sebagan bersumber dari nash Al Qur’an dan As Sunnah, dan sebagian lagi diketahui melalui dalil-dalil lain yang diakui syara’. Dalil syara’ diluar Al Qur’an dan As Sunnah itu yang amat jelas petunjukknya adalah ijma’ dan qiyas. Sedangkan metode lain adalah dalalah, nash, dan lan sebagainya.
Dalam makalah ini, akan dibahas masalah macam-macam teorinya dalalah nash sehingga akan terdapat perbedaan dengan pengambilan hukum di tiap-tiap isi dari ayat Al Qur’an.

II.    Jalan Dalalah (Petunjuk) Nash
Nash syar’i atau perundang-undangan wajib diamalkan sesuai dengan yang dipahami dari ibaratnya (susunan kalimatnya) atau isyaratnya atau dalalahnya atau iqtida’nya. Karena segala sesuatu yang dipahami dari nash dengan salah satu jalan dari empat jalan tersebut, maka ia termasuk diantara madlul (yang ditunjuki) oleh nash. Sedangkan nash adalah hujjah diatasnya.
“Apabila pengertian yang dipahami dengan salah satu jalan tersebut bertentangan dengan pengertian lainnya yang dipahami melalui jalan dari jalan-jalan tersebut, maka makna yang dipahami dari ibarat dimenangkan atas makna yang dipahami melalui isyarat; dan makna yang dipahami melalui salah satu dari dua jalan tersebut dimenangkan atas makna yang dipahami melalui dalalah”.[1]
Makna yang bersifat garis besar bagi kaidah ini ialah : bahwasanya nash syar’i atau perundang-undangan terkandung menunjukkan seberapa makna yang beragam melalui cara dalalah tersebut. Dalalah nash tersebut tidaklah terbatas pada makna yang dipahami dari ibaratnya dan huruf-hurufnya, akan tetapi terkadang pula ia menunjukkan berbagai makna yang dipahami dari isyaratnya, dari dalalahnya dan dari iqtida’nya. Setiap makna dari makna-makna yang dipahami dengan salah satu dari cara-cara tersebut maka ia termasuk diantara madlul (yang ditunjuki) oleh nash. Nash adalah dalil dan hujjah atas dirinya, dan ia wajib mengamalkannya. Karena seseorang yang dibebani dengan nash (teks) perundang-undangan juga dibebani untuk melaksanakan makna yang ditunjuki nash tersebut, dengan salah satu cara yang diakui menurut bahasa. Apabila seorang mukallaf mengamalkan madlul (yang ditunjuki) oleh nash dari sebagian cara dalalahnya, dan tidak mengabaikan pengamalan terhadap madlul nash dari cara yang lain, maka sesungguhnya ia telah menyia-nyiakan nash dari sebagian segi. Oleh karena itulah, maka para ahli ilmu ushul fiqih berkata : “Wajib mengamalkan apa yang ditunjuki oleh ibarat nash dan apa yang ditunjuki oleh jiwa dan penalaran nash tersebut”. Sebagian dari jalan-jalan tersebut lebih kuat dalalahnya dari sebagian yang lain. Pengaruh perbedaan tingkatan ini akan jelas ketika terjadi kontradiksi (pertentangan).
Adapun penjelasan yang terperinci bagi kaidah ini, maka ia adalah penjelasan terhadap masing-masing dari empat dalalah tersebut. Sedangkan contoh-contoh diambilkan dari nash-nash perundang-undangan syar’iyyah dan hukum positif :

a.       Ibarat Nash (Makna Eksplisit)
Yang dimaksud ibarat nash adalah shighatnya yang terdiri dari berbagai satuan kata (mufrodat) dan kalimat. Sedangkan yang dimaksud dengan makna yang dipahami dari ibarat nash ialah makna yang segera dapat dipahami dari shighatnya. Makna tersebut adalah yang dimaksudkan dari susunan kalimatnya. Sepanjang makna itulah dhohir pemahamannya dari shighat nash. Sedangkan nash disusun untuk menjelaskan dan menetapkannya, maka ia adalah yang ditunjuki oleh ibarat nash, yang juga disebut dengan makna literal bagi nash. Jadi dalalah ibarat ialah : dalalah shighat terhadap makna yang segera dapat dipahami darinya, yang dimaksudkan dari susunannya, baik makna tersebut dikehendaki dari susunannya secara asli ataupun dikehendaki secara pengikutan.
Contohnya, Allah SWT berfirman :
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
Artinya      : “… padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba …” (QS. Al-Baqarah : 275)
Shighat nash ini menunjukkan dengan dalalah yang jelas atas dua makna, yang masing-masing makna dikehendaki dari susunan kalimatnya. Yaitu : pertama, bahwasanya hukum jual beli dihalalkan dan hukum riba diharamkan. Kedua, makna tersebut dipahami dari susunan kalimat nash tersebut dan dimaksudkan dari susunannya, akan tetapi makna yang pertama dikehendaki secara asli dari susunannya. Karena ayat tersebut dikemukakan untuk membantah orang-orang yang mengatakan bahwasanya jual beli itu seperti riba, sedangkan makna yang kedua dimaksudkan dari susunan kalimatnya secara mengikut saja. Karena sesungguhnya penafian persamaan diikuti dengan penjelasan hukum masing-masing dari kedua-duanya, sehingga dari perbedaan hukum tersebut diambil kesimpulan bahwasanya kedua hal tersebut tidaklah sama. Kalau sekiranya Allah mencukupkan pada makna yang dikehendaki dari susunan kalimat saja secara asli, niscaya Dia mengatakan : “… padahal jual beli tidaklah seperti riba …”
b.      Isyarat Nash (Makna yang Tersirat)
Yang dimaksud dengan makna yang dipahami dari lafadz-lafadz, tidak pula dimaksudkan melalui susunannya. Akan tetapi ia adalah makna yang lazim bagi makna yang segera dapat dipahami dari lafadznya. Jadi ia adalah makna yang ditunjuki oleh lafadz melalui cara iltizam. Karena ia adalah makna iltizami dan tidak dimaksudkan dari susunannya, maka dalalah nash terhadap makna tersebut melalui isyarat bukan ibarat. Segi kelazimannya terkadang jelas, dan terkadang pula tersembunyi. Oleh karena inilah mereka berkata : “Sesungguhnya sesuatu yang diisyaratkan oleh nash, terkadang pemahamannya membutuhkan penalaran yang mendetail dan pemikiran yang berlebih. Terkadang pula ia dapat dipahami dengan pemikiran yang sederhana. Jadi dalalah isyarat adalah dalalah nash terhadap makna yang lazim bagi sesuatu yang dipahami dari ibaratnya, namun tidak dimaksudkan dari susunannya, pemahamannya membutuhkan perenungan yang berlebih atau sederhana, sesuai dengan jelasnya segi kelaziman ketersembunyiannya. Kekuatan isyarah nash sama dengan ibarat nash dimana keduanya merupakan dasar dari kewajiban, kecuali ada dalil yang menghendaki sebaliknya.[2]
Contoh dalalah isyarat ini adalah firman Allah SWT :
n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/
Artinya      : “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf …” (QS. Al-Baqarah : 233)
Dari ibarat nash ini dapat dipahami bahwasanya nafkah para ibu, baik makanan maupun pakaian adalah wajib atas para ayah, karena sesungguhnya pengertian inilah yang segera tertangkap dari lafadz-lafadznya, yang dimaksudkan dari susunannya. Dan berdasarkan isyarat nash dipahami pula bahwasanya ayah tidak disertai oleh siapapun dalam kewajiban menafkahi anaknya, karena anak adalah untuknya bukan untuk orang lain. Kalau sekiranya seseorang ayah itu adalah dari suku Quraisy dan ibunya bukan Quraisy maka anaknya adalah untuk ayahnya yang Quraisy itu, karena anaknya adalah untuknya bukan untuk orang lain. Selanjutnya bahwasanya ayahnya ketika membutuhkan dapat memiliki harta anaknya sesuai yang dibutuhkannya tanpa suatu ganti, karena anak tersebut adalah baginya, maka harta kekayaan anaknya adalah menjadi miliknya. Hukum-hukum ini dipahami dari isyarat nash, karena sesungguhnya pada lafadz nash terdapat pengkaitan anak pada ayahnya dengan huruf lain yang mempunyai pengertian pengkhususan, yaitu :
n?tãur ÏŠqä9öqpRùQ$# ¼ã&s!
Dan atas orang yang (anak) itu dilahirkan untuknya pengkhususan inilah yang diungkapkan dalam hadits :
اَنْتَ وَمَالُكَ ِلاَبِيْكَ
Artinya      : “Kamu dan hartamu adalah bagi ayahmu”.
Dari kelaziman pengkhususan ini adalah tetapnya hukum-hukum tersebut. Hal tersebut merupakan hukum lazim bagi makna yang dipahami dari barat nash, namun tidak dimaksudkan dari susunannya. Oleh karena inilah, maka pemahamannya adalah dari isyarat nash, bukan dari ibaratnya.
c.       Dilalah Nash (Makna yang Tersimpul)
Yang dimaksud dengan sesuatu yang dipahami dari dalalah nash adalah makna yang tidak segera dapat dipahami dari jiwa dan penalaran nash. Jika ibarat nash menunjukkan hukum suatu kasus karena suatu illat yang menjadi dasar hukum ini, dan kasus lain ditemukan yang menyamai kasus tersebut dalam segi illat hukumnya, atau bahkan ia lebih-lebih lagi, dan persamaan atau kelebihan itu segera dapat dipahami dengan semata-mata memahami bahasa tanpa membutuhkan ijtihad atau qiyas, maka secara bahasa dapat dipahami bahwa nash tersebut menyangkut dua kasus itu, dan bahwa hukum yang tetap bagi yang manthuq (yang dikatan) juga tetap bagi mafhum yang sesuai dengannya dengan illat, baik sejajar persamaannya atau lebih-lebih lagi. Terdapat perbedaan dilalah nash dan qiyas. Pada dilalatun nash, illat-nya dapat dipahami langsung dari arti bahasa yang ada dalam nash itu. Sedangkan qiyas bukan dari arti bahasa yang terkandung dalam nash, tetapi melalui ijtihad. Dilalatun nash juga dinamakan qiyas jalli, sebab yang ada kasus baru itu lebih kuat daripada yang ada pada kasus lama, atau sekurang-kurangnya sama.[3]
Misalnya dalalah nash ialah firman Allah SWT mengenai urusan dua orang tua, yaitu :
فَلاَ تَقُلْ لَّهُمَا اُفٍّ
Artinya      : “Maka janganlah kamu mengatakan ‘uff’ kepada mereka”.
Ibarat nash ini menunjukkan larangan terhadap ucapan “uff” / ”ah” kepada orang tuanya. Illat pada larangan ini ialah adanya penyakit hati dan menyakiti mereka yang terdapat pada kata “uff” terhadap mereka. Kemudian ada bentuk lain yang lebih menyakitkan daripada mengatakan “uff”, seperti memukul dan mencaci maki, sehingga segera dapat dipahami bahwa hal tersebut juga termasuk dalam larangan. Ia juga diharamkan berdasarkan nash yang mengharamkan mengucapkan “uff!”, karena menurut bahasa, yang segera dapat dipahami dari larangan terhadap sesuatu yang lebih menyakiti terhadap kedua orang tua. Jadi pengertian yang dipahami yang sesuai dan didiamkan itu adalah lebih-lebih lagi hukumnya dibandingkan pengertian yang diucapkan.
d.      Iqtida’ Nash (Makna yang Dikehendaki)
Yang dimaksudkan dengan sesuatu yang dipahami dari iqtida’ nash adalah : Makna yang suatu kalimat tidak dapat lurus kecuali dengan memperkirakan makna itu. Dalam shighat nash tidak terdapat lafadz yang menunjukkan makna itu, akan tetapi kesalahan shighat dan kelurusan pengertiannya. Menurut keberadaannya atau kebenarannya dan kesesuaiannya dengan kenyataan menuntutnya.
Contoh adalah sabda Rasulullah SAW :
رُفِعَ عَنْ اُمَّتِى الْخَطَاءُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتَكْرَهُوْا عَلَيْهِ
Artinya      : ”Telah diangkat dari umatku ketersalahan, lupa dan sesuatu yang mereka dipaksakan atasn ya”.
Susunan kalimat ini menurut lahiriyah menunjukkan pengangkatan perbuatan apabila ia terjadi secara salah, karena lupa atau dalam keadaan terpaksa. Ini adalah makna yang tidak sesuai dengan kenyataan, karena sebenarnya apabila perbuatan telah terjadi maka ia tidak dapat diangkat, maka kesahihan makna susunan kalimat ini menuntut perkiraan sesuatu yang sah dengannya, kemudian disini ditakdirkan :
رُفِعَ عَنْ اُمَّتِى اِثْمُ الْخَطَاءِ
Artinya      : “Diangkat dari umatku dosa ketersalahan”.
Kata “dosa” yang dibuang dituntut untuk ditakdirkan oleh kesahihan makna nash tersebut. Kemudian yang ditunjuki oleh nash disebut dengan iqtida’.
Setiap makna dapat dipahami dari nash (teks) dengan jalan-jalan empat tersebut yang terdiri dari pengertian (madlul) nash dan nash adalah hujjah (argumentasi) makna tersebut.[4]

III. Kesimpulan
  1. Teori dalalah (petunjuk) nash ada 4, yaitu : ibarat nash, isyarat nash, dalalah nas, dan iqtida’ nash.
  2. Jalan (mengambil makna) menurut ungkapan (ibarat) adalah jalan yang paling kuat daripada kalau mempergunakan jalan isyarat.
  3. Pada dilalatun nash, illatnya dapat dipahami langsung dari arti bahasa yang ada di dalam nash tersebut, sedangkan qiyas bukan arti bahasa yang terkandung dalam nash, tetapi melalui ijtihad.
  4. Dilalatun nash juga dinamakan qiyas jalli, atau sekurang-kurangnya sama.

IV. Daftar Pustaka
  1. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994.
  2. Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
  3. Drs. H. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2011.
  4. Mohammad Hasyim Kamali, Hukum Islam (Ushul Fiqih), Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 1996.
DAFTAR ISI


Halaman Judul ..................................................................................................        i
Daftar Isi ...........................................................................................................       ii
I.       Pendahuluan ...............................................................................................       1
II.    Jalan Dalalah (Petunjuk) Nash ....................................................................       1
a.       Ibarat Nash (Makna Eksplisit) ..............................................................       3
b.      Isyarat Nash (Makna yang Tersirat) ......................................................       4
c.       Dilalah Nash (Makna yang Tersimpul) .................................................       6
d.      Iqtida’ Nash (Makna yang Dikehendaki) .............................................       7
III. Kesimpulan .................................................................................................       8
IV. Daftar Pustaka ............................................................................................       8




ii
 
 


PEMAHAMAN DALALAH, NASH DAN PENGGUNAANNYA
SUB BAGIAN
JALAN DALALAH (PETUNJUK) NASH


MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu Mid Semester
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Achmad Supriyadi, S.Ag.



 









Disusun Oleh :

Nama               :   Nurkhan Muslim
NIM                :   110382
Kelas               :   J
Jurusan            :   PAI / Tarbiyah

 

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
TAHUN 2011


[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama, Semarang, hal. 211.
[2] Mohammad Hasyim Kamali, Hukum Islam (Ushul Fiqh), Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 1996, hal. 163.
[3] Drs. H. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, CV. Pustaka Setia, 2011, Bandung, hal. 30.
[4] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, 1996, Jakarta, hal. 244.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar