PEMAHAMAN
DALALAH, NASH DAN PENGGUNAANNYA
SUB
BAGIAN
JALAN
DALALAH (PETUNJUK) NASH
I.
Pendahuluan
Sumber hukum Islam sesungguhnya bagaikan mata air yang
tak pernah kering bahkan memiliki deposit yang mampu menyirami setiap
perkembangan hukum Islam yang memenuhi tuntutan keadilan dan kepentingan /
mashlahat ummat sepanjang masa.
Para ulama Islam
sepakat bahwa setiap peristiwa / kejadian, terkait didalamnya ketentuan hukum
syari’at. Hukum tersebut sebagan bersumber dari nash Al Qur’an dan As Sunnah,
dan sebagian lagi diketahui melalui dalil-dalil lain yang diakui syara’. Dalil
syara’ diluar Al Qur’an dan As Sunnah itu yang amat jelas petunjukknya adalah
ijma’ dan qiyas. Sedangkan metode lain adalah dalalah, nash, dan lan
sebagainya.
Dalam makalah ini, akan dibahas masalah macam-macam
teorinya dalalah nash sehingga akan terdapat perbedaan dengan pengambilan hukum
di tiap-tiap isi dari ayat Al Qur’an.
II.
Jalan Dalalah (Petunjuk) Nash
Nash syar’i atau perundang-undangan wajib diamalkan
sesuai dengan yang dipahami dari ibaratnya (susunan kalimatnya) atau isyaratnya
atau dalalahnya atau iqtida’nya. Karena segala sesuatu yang dipahami dari nash
dengan salah satu jalan dari empat jalan tersebut, maka ia termasuk diantara
madlul (yang ditunjuki) oleh nash. Sedangkan nash adalah hujjah diatasnya.
“Apabila pengertian yang dipahami dengan salah satu
jalan tersebut bertentangan dengan pengertian lainnya yang dipahami melalui
jalan dari jalan-jalan tersebut, maka makna yang dipahami dari ibarat
dimenangkan atas makna yang dipahami melalui isyarat; dan makna yang dipahami
melalui salah satu dari dua jalan tersebut dimenangkan atas makna yang dipahami
melalui dalalah”.[1]
Makna yang bersifat garis besar bagi kaidah ini ialah
: bahwasanya nash syar’i atau perundang-undangan terkandung menunjukkan
seberapa makna yang beragam melalui cara dalalah tersebut. Dalalah nash
tersebut tidaklah terbatas pada makna yang dipahami dari ibaratnya dan
huruf-hurufnya, akan tetapi terkadang pula ia menunjukkan berbagai makna yang
dipahami dari isyaratnya, dari dalalahnya dan dari iqtida’nya. Setiap makna
dari makna-makna yang dipahami dengan salah satu dari cara-cara tersebut maka
ia termasuk diantara madlul (yang ditunjuki) oleh nash. Nash adalah dalil dan
hujjah atas dirinya, dan ia wajib mengamalkannya. Karena seseorang yang
dibebani dengan nash (teks) perundang-undangan juga dibebani untuk melaksanakan
makna yang ditunjuki nash tersebut, dengan salah satu cara yang diakui menurut
bahasa. Apabila seorang mukallaf mengamalkan madlul (yang ditunjuki) oleh nash
dari sebagian cara dalalahnya, dan tidak mengabaikan pengamalan terhadap madlul
nash dari cara yang lain, maka sesungguhnya ia telah menyia-nyiakan nash dari
sebagian segi. Oleh karena itulah, maka para ahli ilmu ushul fiqih berkata :
“Wajib mengamalkan apa yang ditunjuki oleh ibarat nash dan apa yang ditunjuki
oleh jiwa dan penalaran nash tersebut”. Sebagian dari jalan-jalan tersebut
lebih kuat dalalahnya dari sebagian yang lain. Pengaruh perbedaan tingkatan ini
akan jelas ketika terjadi kontradiksi (pertentangan).
Adapun penjelasan yang terperinci bagi kaidah ini,
maka ia adalah penjelasan terhadap masing-masing dari empat dalalah tersebut.
Sedangkan contoh-contoh diambilkan dari nash-nash perundang-undangan syar’iyyah
dan hukum positif :
a.
Ibarat Nash (Makna Eksplisit)
Yang dimaksud ibarat nash adalah shighatnya yang
terdiri dari berbagai satuan kata (mufrodat) dan kalimat. Sedangkan yang
dimaksud dengan makna yang dipahami dari ibarat nash ialah makna yang segera
dapat dipahami dari shighatnya. Makna tersebut adalah yang dimaksudkan dari
susunan kalimatnya. Sepanjang makna itulah dhohir pemahamannya dari shighat
nash. Sedangkan nash disusun untuk menjelaskan dan menetapkannya, maka ia
adalah yang ditunjuki oleh ibarat nash, yang juga disebut dengan makna literal
bagi nash. Jadi dalalah ibarat ialah : dalalah shighat terhadap makna yang
segera dapat dipahami darinya, yang dimaksudkan dari susunannya, baik makna
tersebut dikehendaki dari susunannya secara asli ataupun dikehendaki secara
pengikutan.
Contohnya, Allah SWT berfirman :
¨@ymr&ur ª!$#
yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
Artinya : “… padahal Allah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba …” (QS. Al-Baqarah : 275)
Shighat nash ini menunjukkan dengan dalalah yang jelas
atas dua makna, yang masing-masing makna dikehendaki dari susunan kalimatnya.
Yaitu : pertama, bahwasanya hukum jual beli dihalalkan dan hukum riba
diharamkan. Kedua, makna tersebut dipahami dari susunan kalimat nash tersebut
dan dimaksudkan dari susunannya, akan tetapi makna yang pertama dikehendaki
secara asli dari susunannya. Karena ayat tersebut dikemukakan untuk membantah
orang-orang yang mengatakan bahwasanya jual beli itu seperti riba, sedangkan
makna yang kedua dimaksudkan dari susunan kalimatnya secara mengikut saja. Karena
sesungguhnya penafian persamaan diikuti dengan penjelasan hukum masing-masing
dari kedua-duanya, sehingga dari perbedaan hukum tersebut diambil kesimpulan
bahwasanya kedua hal tersebut tidaklah sama. Kalau sekiranya Allah mencukupkan
pada makna yang dikehendaki dari susunan kalimat saja secara asli, niscaya Dia
mengatakan : “… padahal jual beli tidaklah seperti riba …”
b.
Isyarat Nash (Makna yang Tersirat)
Yang dimaksud dengan makna yang dipahami dari
lafadz-lafadz, tidak pula dimaksudkan melalui susunannya. Akan tetapi ia adalah
makna yang lazim bagi makna yang segera dapat dipahami dari lafadznya. Jadi ia
adalah makna yang ditunjuki oleh lafadz melalui cara iltizam. Karena ia adalah
makna iltizami dan tidak dimaksudkan dari susunannya, maka dalalah nash terhadap
makna tersebut melalui isyarat bukan ibarat. Segi kelazimannya terkadang jelas,
dan terkadang pula tersembunyi. Oleh karena inilah mereka berkata :
“Sesungguhnya sesuatu yang diisyaratkan oleh nash, terkadang pemahamannya
membutuhkan penalaran yang mendetail dan pemikiran yang berlebih. Terkadang
pula ia dapat dipahami dengan pemikiran yang sederhana. Jadi dalalah isyarat
adalah dalalah nash terhadap makna yang lazim bagi sesuatu yang dipahami dari
ibaratnya, namun tidak dimaksudkan dari susunannya, pemahamannya membutuhkan
perenungan yang berlebih atau sederhana, sesuai dengan jelasnya segi kelaziman
ketersembunyiannya. Kekuatan isyarah nash sama dengan ibarat nash dimana
keduanya merupakan dasar dari kewajiban, kecuali ada dalil yang menghendaki
sebaliknya.[2]
Contoh dalalah isyarat ini adalah firman Allah SWT :
n?tãur Ïqä9öqpRùQ$#
¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/
Artinya : “Dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf …” (QS. Al-Baqarah : 233)
Dari ibarat nash ini dapat dipahami bahwasanya nafkah
para ibu, baik makanan maupun pakaian adalah wajib atas para ayah, karena
sesungguhnya pengertian inilah yang segera tertangkap dari lafadz-lafadznya,
yang dimaksudkan dari susunannya. Dan berdasarkan isyarat nash dipahami pula
bahwasanya ayah tidak disertai oleh siapapun dalam kewajiban menafkahi anaknya,
karena anak adalah untuknya bukan untuk orang lain. Kalau sekiranya seseorang
ayah itu adalah dari suku Quraisy dan ibunya bukan Quraisy maka anaknya adalah
untuk ayahnya yang Quraisy itu, karena anaknya adalah untuknya bukan untuk
orang lain. Selanjutnya bahwasanya ayahnya ketika membutuhkan dapat memiliki
harta anaknya sesuai yang dibutuhkannya tanpa suatu ganti, karena anak tersebut
adalah baginya, maka harta kekayaan anaknya adalah menjadi miliknya.
Hukum-hukum ini dipahami dari isyarat nash, karena sesungguhnya pada lafadz
nash terdapat pengkaitan anak pada ayahnya dengan huruf lain yang mempunyai
pengertian pengkhususan, yaitu :
n?tãur Ïqä9öqpRùQ$#
¼ã&s!
Dan atas orang yang (anak) itu dilahirkan untuknya
pengkhususan inilah yang diungkapkan dalam hadits :
اَنْتَ
وَمَالُكَ ِلاَبِيْكَ
Artinya : “Kamu dan hartamu adalah bagi ayahmu”.
Dari kelaziman pengkhususan ini adalah tetapnya
hukum-hukum tersebut. Hal tersebut merupakan hukum lazim bagi makna yang
dipahami dari barat nash, namun tidak dimaksudkan dari susunannya. Oleh karena
inilah, maka pemahamannya adalah dari isyarat nash, bukan dari ibaratnya.
c.
Dilalah Nash (Makna yang Tersimpul)
Yang dimaksud dengan sesuatu yang dipahami dari
dalalah nash adalah makna yang tidak segera dapat dipahami dari jiwa dan
penalaran nash. Jika ibarat nash menunjukkan hukum suatu kasus karena suatu
illat yang menjadi dasar hukum ini, dan kasus lain ditemukan yang menyamai
kasus tersebut dalam segi illat hukumnya, atau bahkan ia lebih-lebih lagi, dan
persamaan atau kelebihan itu segera dapat dipahami dengan semata-mata memahami
bahasa tanpa membutuhkan ijtihad atau qiyas, maka secara bahasa dapat dipahami
bahwa nash tersebut menyangkut dua kasus itu, dan bahwa hukum yang tetap bagi
yang manthuq (yang dikatan) juga tetap bagi mafhum yang sesuai dengannya dengan
illat, baik sejajar persamaannya atau lebih-lebih lagi. Terdapat perbedaan
dilalah nash dan qiyas. Pada dilalatun nash, illat-nya dapat dipahami langsung
dari arti bahasa yang ada dalam nash itu. Sedangkan qiyas bukan dari arti
bahasa yang terkandung dalam nash, tetapi melalui ijtihad. Dilalatun nash juga
dinamakan qiyas jalli, sebab yang ada kasus baru itu lebih kuat daripada yang
ada pada kasus lama, atau sekurang-kurangnya sama.[3]
Misalnya dalalah nash ialah firman Allah SWT mengenai
urusan dua orang tua, yaitu :
فَلاَ
تَقُلْ لَّهُمَا اُفٍّ
Artinya : “Maka janganlah kamu mengatakan ‘uff’ kepada
mereka”.
Ibarat nash ini menunjukkan larangan terhadap ucapan
“uff” / ”ah” kepada orang tuanya. Illat pada larangan ini ialah adanya penyakit
hati dan menyakiti mereka yang terdapat pada kata “uff” terhadap mereka.
Kemudian ada bentuk lain yang lebih menyakitkan daripada mengatakan “uff”,
seperti memukul dan mencaci maki, sehingga segera dapat dipahami bahwa hal
tersebut juga termasuk dalam larangan. Ia juga diharamkan berdasarkan nash yang
mengharamkan mengucapkan “uff!”, karena menurut bahasa, yang segera dapat
dipahami dari larangan terhadap sesuatu yang lebih menyakiti terhadap kedua
orang tua. Jadi pengertian yang dipahami yang sesuai dan didiamkan itu adalah
lebih-lebih lagi hukumnya dibandingkan pengertian yang diucapkan.
d.
Iqtida’ Nash (Makna yang Dikehendaki)
Yang dimaksudkan dengan sesuatu yang dipahami dari
iqtida’ nash adalah : Makna yang suatu kalimat tidak dapat lurus kecuali dengan
memperkirakan makna itu. Dalam shighat nash tidak terdapat lafadz yang
menunjukkan makna itu, akan tetapi kesalahan shighat dan kelurusan
pengertiannya. Menurut keberadaannya atau kebenarannya dan kesesuaiannya dengan
kenyataan menuntutnya.
Contoh adalah sabda Rasulullah SAW :
رُفِعَ
عَنْ اُمَّتِى الْخَطَاءُ وَالنِّسْيَانُ وَمَا اسْتَكْرَهُوْا عَلَيْهِ
Artinya : ”Telah diangkat dari umatku ketersalahan,
lupa dan sesuatu yang mereka dipaksakan atasn ya”.
Susunan kalimat ini menurut lahiriyah menunjukkan
pengangkatan perbuatan apabila ia terjadi secara salah, karena lupa atau dalam
keadaan terpaksa. Ini adalah makna yang tidak sesuai dengan kenyataan, karena
sebenarnya apabila perbuatan telah terjadi maka ia tidak dapat diangkat, maka
kesahihan makna susunan kalimat ini menuntut perkiraan sesuatu yang sah
dengannya, kemudian disini ditakdirkan :
رُفِعَ
عَنْ اُمَّتِى اِثْمُ الْخَطَاءِ
Artinya : “Diangkat dari umatku dosa ketersalahan”.
Kata “dosa” yang dibuang dituntut untuk ditakdirkan
oleh kesahihan makna nash tersebut. Kemudian yang ditunjuki oleh nash disebut
dengan iqtida’.
Setiap makna dapat dipahami dari nash (teks) dengan
jalan-jalan empat tersebut yang terdiri dari pengertian (madlul) nash dan nash
adalah hujjah (argumentasi) makna tersebut.[4]
III. Kesimpulan
- Teori dalalah (petunjuk) nash ada 4, yaitu : ibarat nash, isyarat nash, dalalah nas, dan iqtida’ nash.
- Jalan (mengambil makna) menurut ungkapan (ibarat) adalah jalan yang paling kuat daripada kalau mempergunakan jalan isyarat.
- Pada dilalatun nash, illatnya dapat dipahami langsung dari arti bahasa yang ada di dalam nash tersebut, sedangkan qiyas bukan arti bahasa yang terkandung dalam nash, tetapi melalui ijtihad.
- Dilalatun nash juga dinamakan qiyas jalli, atau sekurang-kurangnya sama.
IV. Daftar
Pustaka
- Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994.
- Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
- Drs. H. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2011.
- Mohammad Hasyim Kamali, Hukum Islam (Ushul Fiqih), Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 1996.
DAFTAR
ISI
Halaman Judul .................................................................................................. i
Daftar Isi ........................................................................................................... ii
I.
Pendahuluan ............................................................................................... 1
II.
Jalan Dalalah (Petunjuk) Nash .................................................................... 1
a.
Ibarat Nash (Makna Eksplisit) .............................................................. 3
b.
Isyarat Nash (Makna yang Tersirat) ...................................................... 4
c.
Dilalah Nash (Makna yang Tersimpul) ................................................. 6
d.
Iqtida’ Nash (Makna yang Dikehendaki) ............................................. 7
III. Kesimpulan
................................................................................................. 8
IV. Daftar
Pustaka ............................................................................................ 8
|
PEMAHAMAN DALALAH, NASH DAN PENGGUNAANNYA
SUB BAGIAN
JALAN DALALAH (PETUNJUK) NASH
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Individu Mid
Semester
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Achmad Supriyadi, S.Ag.
Disusun Oleh :
Nama : Nurkhan
Muslim
NIM : 110382
Kelas : J
Jurusan : PAI
/ Tarbiyah
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
TAHUN 2011
[1]
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama, Semarang, hal. 211.
[2]
Mohammad Hasyim Kamali, Hukum Islam (Ushul Fiqh), Pustaka Pelajar
Offset, Yogyakarta, 1996, hal. 163.
[3]
Drs. H. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqih II, CV. Pustaka Setia, 2011, Bandung, hal. 30.
[4]
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT. Raja Grafindo
Persada, 1996, Jakarta,
hal. 244.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar