Selasa, 06 Mei 2014

Hisab, Ru'yah serta Permasalahannya






HISAB, RU’YAH SERTA PERMASALAHANNYA
I.          PENDAHULUAN
Masalah penentuan awal bulan qamariah terutama awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah merupakan persoalan klasik yang senantiasa aktual. Mengenai penetapan awal bulan qamariah, termasuk penentuan ruang lingkup berlakunya (matla’), prinsip-prinsipnya telah ditunjukan baik oleh al-Qur’an maupun as-Sunnah. Namun, karena ayat-ayat al-Qur’an tersebut dipandang dan difahami sebagai ayat yang masih terbuka bagi penafsiran yang berbeda-beda, serta as-Sunnah yang beraneka ragam redaksi yang diterima oleh para periwayat, maka muncul aneka ragam pengertian dan kesimpulan. Sesuai dengan pemahaman terhadap  kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah tersebut, kaum muslimin menempuh berbagai cara yang berbeda-beda pula.
Dalam hal penetapan awal bulan qamariah, prinsip- prinsip yang terkandung dalan al-Qur’an dan as-Sunnah tersebut diapresiasi dan diamalkan dengan cara yang beraneka ragam dengan berbagai variasinya : rukyat, ijtima’ qablal-ghurub, wujudul-hilal, bahkan imkanatur-ru’yat. ini merupakan problem yang hingga kini belum dapat diselesaikan, bahkan secara pesimis keragaman itu akan terus berlanjut dan tidak akan pernah selesai.
Begitu pula masalah matla’, sebagai persoalan klasik yang timbul tenggelam, yang memperdebatkan masalah apakah keputusan awal bulan qamariah itu berlaku bagi seluas komunitas daerah, negara atau internasional. Hal ini disebabkan oleh perbedaan pandangan dari segi penggalian hukum dan dalil-dalil syar’i yang digunakan.
  
II.          PERMASALAHAN
1.    Apa yang menjadi akar masalah tentang penentuan bulan qamariah ?
2.    Apakah hisab dan ru’yat itu ?
3.    Apa saja kriteria  dalam penetapan awal bulan qamariah terutama awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah ?

III.          PEMBAHASAN
A.      Faham Keagamaan Sebagai Akar Masalah
Perbedaan pendapat tentang penentuan awal bulan qamariah  yang berkembang dalam masyarakat sesungguhnya lebih bersifat fiqhiyyah, artinya perbedaan pendapat itu berawal dari masalah  paradigma fiqih dan implementasinya. Para ahli fikih umumnya, berpedoman pada paradigma bahwa hukum asal segala sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia (mu’amalah) adalah boleh, kecuali apabila ada dalil eksplisit yang melarangnya, sedangkan hukum asal dalam bidang ibadah  adalah dilarang, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu telah diperitahkan oleh Allah dan atau dicontohkan oleh Rasul SAW.
Secara filosofis, pembidangan materi fikih ini dirumuskan dalam sebuah kaidah populer yang berbunyi:
الْاَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ بِاالنِّسْبَةِ إِلَى الْمُكَلَّفِ التَّعَبُّدُ دُوْنَ الالتفات إِلَى الْمَعَانِى وَ اَصْلُ الْعَادَتِ الالْتِقَاتُ إِلَى الْمَعَانِى.
pada dasarnya ibadah dalam hubungannya dengan mukallaf adalah bersifat ta’abbudi, tanpa berpaling kepada makna-maknanya, sedangkan pada dasarnya ‘adat  (muamalah) menoleh pada makna-maknanya.”[1]   
Dengan demikian, ada masalah-masalah yang dapat dipecahkan dengan rasio yang disebut ta’aqquli atau ijtihadi, ada pula masalah yang hanya dapat dipecahkan dengan wahyu yang disebut ta’abbudi.
Sebagian kaum muslimin berpendapat bahwa ketentuan waktu puasa Ramadlan (termasuk idul Fitri) dan metode atau tatacara untuk mengetahuinya  termasuk dalam wilayah ta’abbudi. Oleh karena itu harus dan hanya berdasar wahyu secara eksplisit. Dengan demikian, metode yang digunakan untuk mengetahuinya adalah Rukyat. Jika rukyat tidak berhasil maka jalan keluarnya adalah menyempurnakan umur bulan Sya’ban 30 hari (untuk awal bulan Ramadlan) atau menyempurnakan bulan Ramadlan 30 hari (untuk awal bulan Syawal). Sebagaimana hadits Nabi yang artinya :
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عنه يقول : قال النبي ص.م  اَوْ قال اَبُوْ الْقَاسِمِ ص.م : صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَاِنْ عَبّر عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانِ ثَلاَثِيْنَ. (رواه البخاري)
Artinya : Dari Abu Hurairah ra. bersabda Rasulullah SAW (yang dikenal pula dengan sebutan Abu Qasim): “Berpuasalah kamu sekalian karena melihat bulan, jika kamu sekalian tidak dapat melihat bulan, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Al-Bukhari)     
Sebagian yang lain membedakan antara ketentuan waktu puasa Ramadlan dan metode atau cara mengetahuinya. Ketentuan waktu puasa Ramadlan termasuk dalam wilayah ta’abbudi sedangkan metode atau cara mengetahui atau menentukannya termasuk dalam wilayah ta’aqquli atau ijtihadi. Metode atau cara menentukannya dapat dilakukan dengan metode Hisab.  Sebagaimana yang terdapat dalam QS.Yunus:5 berikut:
هُوَ الَذِى جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَه‘ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْاعَدَدَ الِسّنِيْنَ وَالْحِسَابَ, مَا خَلَقَ اللهُ ذَلِكَ اِلاَبِالْحَقّ, يُفَصِلُ اْلآايَتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ.
( يونس:5  )

Artinya : “Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditempatkannya manzilah-manzilah (tempat-tempat ) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaranNya) kepada orang-orang yang mengetahui. (QS. Yunus: 5)

B.       Pengertian Hisab dan ru’yat
Masuknya bulan Ramadlan dan tanggal mulainya idul Fitri sebagaimana umumnya dikenal masyarakat Islam ditentukan oleh Ru’yat dan Hisab. Ru’yat adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan Qamariah dengan jalan melihat dengan panca indra mata timbul /munculnya bulan sabit dan bila udara mendung atau cuaca buruk sehingga bulan tidak dapat dilihat maka hendaknya menggunakan istikmal (menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari).
Hisab adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan Qamariah dengan jalan menggunakan perhitungan secara ilmu astronomi, sehingga dapat ditentukan secara eksak letak bulan, dengan demikian diketahui pula awal bulan qamariah tersebut.[2]
Dari dua jenis pendapat tersebut (Ru’yat dan Hisab) ada baiknya dicatat pendapat Prof. T.M. hasbi Ash Siddiqy dalam bukunya Pedoman Ibadah puasa yang menyatakan bahwa menentukan awal dan akhir puasa boleh mempergunakan salah satu dari dua tersebut, baik sistem Hisab ataupun Ru’yah. Bukankah kedua-duanya mempunyai alasan yang kuat menurut mereka masing-masing dan sama-sama bersumber dari al-Qur’an dan Hadits.[3]

C.      Kriteria Penentuan Awal Bulan Qamariah
Ada 4 kriteria yang menjadi dasar penyusunan kalender hijriah di Indonesia khususnya untuk penentuan awal Ramadlan, Syawal, dan Zulhijjah. Kriteria tersebut masing-masing[4] :
1.    Rukyat al-hilal bil fi’li
Kriteria ini menyatakan bahwa awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Zulhijjah dimulai sejak terlihatnya hilal pada saat terbenam matahari tanggal 29. Kalau tidak terlihat, maka jalan keluarnya adalah mengambil maksimum umur bulan 30 hari dan setelah itu mulailah tanggal 1 bulan baru[5].
Berdasarkan syari’at tersebut Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam berhaluan ahlussunnah wal jamaah berketetapan mencontoh sunah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikuti ijtihad para Ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) dalam hal penentuan awal bulan Hijriah wajib menggunakan ru’yatul hilal bi fi’li, yaitu dengan meru’yat hilal secara langsung[6].

2.    Ijtima’ qabl al-ghurub
Pada prinsipnya kriteria ini pergantian awal bulan Qamariah dengan menjadikan ijtima’ sebagai ketentuan pergantian awal bulan Qamariah dengan memberikan batas terjadinya ijtima’ sebelum terbenam matahari.[7]
Jika ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari maka malam hari itu sudah dianggap bulan baru, sedangkan jika ijtima’ terjadi setelah terbenam matahari maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. Sistem ini berpegang kepada ketentuan bahwa hari menurut Islam dimulai dari saat terbenam matahari sampai dengan terbenam matahari berikutnya. Dengan demikian, menurut pandangan ini ijtima’ adalah pemisah diantara dua bulan Qamariah.[8]

3.    Wujud al-hilal
Kriteria wujudul hilal, jika pada tanggal 29 dalam penanggalan Hijriyah atau hari terjadinya ijma’/konjungsi  telah memenuhi 2 (dua) kondisi, yaitu[9]:
a)         Konjungsi telah terjadi sebelum matahari tenggelam,
b)        Bulan tenggelam setelah matahari, maka keesokan harinya telah dinyatakan sebagai awal bulan Hijriyah.
Cara menentukannya sangat mudah yaitu dengan menempatkan matahari pada posisi terbenam, lalu ditentukan posisi bulan. Bila bulan berkedudukan diatas ufuk itu berarti menunjukkan bahwa bulan sudah berada di sebelah timur matahari. Situasi demikian menunjukkan bahwa bulan baru qamariah sudah mulai atau dengan kata lain hilal sudah wujud.
Dalil dan interpretasinya yang digunakan oleh sistem ini sama dengan yang digunakan oleh sistem hisab ijtima’ qablal-ghurub. Akan tetapi dalam hal menetapkan adanya hilal mempersyaratkan adanya pada saat terbenam matahari, artinya pada saat terbenam matahari bulan harus belum terbenam.[10]
Berdasarkan konsep inilah Muhammadiyah dapat menyusun kalender Hijriyah termasuk penentuan awal Ramadlan, idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang[11]. Menurut mereka, teori Wujudul hilal ini adalah “jalan tengah” antara aliran hisab ijtima’ qabla al-ghurub dan imkanur ru’yah, atau jalan tengah antara aliran hisab murni dan aliran rukyat murni.[12]

4.    Imkan ar-ru’yat
Kriteria awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Zulhijjah dimulai apabila saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima’/konjungsi, hilal  sudah ada. Dalam pengertian mungkin dilihat, artinya dalam kondisi normal hilal itu mungkin dapat dilihat.
Taqwim standard empat negara ASEAN, yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) merumuskan:
 Awal bulan hijriyyah terjadi jika :
1.      Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) bulan diatas cakrawala minimum 2 derajat, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan –Matahari minimum 3 derajat.
2.      Pada saat Bulan terbenam, usia bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Secara bahasa Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan terlihatnya hilal. Secara praktis, imkanur rukyat dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode hisab. Terdapat 3 kemungkinan kondisi.
1.      Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru.Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
2.      Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan hilal dapat dilihat dalam kondisi ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk. Metode hisab dan rukyat sepakat dalam kondisi ini.
3.      Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan hilal tidak dapat dilihat secara rukyat. Tetapi secara metode hisab hilal sudah diatas cakrawala. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari, sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.
Meski demikian ada pendapat yang mengatakan bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini.[13]

IV.                        KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan dimulainya awal bulan pada kalender hijriyyah, dengan dua cara :
1.      Rukyat
2.      Hisab
Adapun di Indonesia dalam menentukan awal bulan qomariyyah ada 4 kriteria;
1.      Rukyatul Hilal Bil Fi’li : dimulai sejak terlihatnya hilal pada saat terbenam matahari tanggal 29. Kalau tidak terlihat, maka jalan keluarnya adalah mengambil maksimum umur bulan 30 hari
2.      Ijtima; Qoblal Ghurub : ijtima’ sebagai ketentuan pergantian awal bulan Qamariah dengan memberikan batas terjadinya ijtima’ sebelum terbenam matahari.
3.      Wujudul Hilal : menempatkan matahari pada posisi terbenam, lalu ditentukan posisi bulan.
4.      Imkanur Rukyat : Penentuan awal bulan hijrriyyah ditetapkan berdasarkan musyawarah MABIMS.

V.                        PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sajikan, mudah-mudahan dapat bermanfaat khususnya bagi pembaca dan umumnya masyarakat. Kritik dan saran yang konstruktif kami harapkan untuk penyempurnaan penyusunan makalah selanjutnya. Jika ada kesalahan atau kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon ma’af sebesar-besarnya.













DAFTAR PUSTAKA.
Ali Imron, S.Th.I., M.S.I, Muhammadiyah di tengah Pusaran Kontroversi Hisab-Rukyat, Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga Tahun ke-32, tanggal 16 September 2011 , Yogyakarta
Drs. H. Yasin, M.Ag, dkk., Fiqh Ibadah, STAIN KUDUS, Kudus, 2008
Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh jilid 2, PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995
Abdul Aziz, M.Si., Bumi Sholat Secara Matematis, UIN-Malang Press, Malang, 2007
Taufiqurrahman Kurniawan, Ilmu Falak & Tinjauan Matlak global, Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta, 2010, hal.39-40
http//rukyatulhilal.tripod.com/artikel.html
Wikipedia


[1] Drs. H. Yasin, M.Ag, dkk., Fiqh Ibadah, STAIN KUDUS, Kudus, 2008, hal.126
[2] Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh jilid 2, PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, hal. 285
[3] Prof. Dr. Zakiah Daradjat, Ibid., hal. 287
[4] Abdul Aziz, M.Si.,Bumi Sholat Secara Matematis, UIN-Malang Press, Malang, 2007, hal.79
[5] Drs. H. Yasin, M.Ag, dkk., Ibid., hal. 130
[6] Abdul Aziz, M.Si., Ibid., hal.80
[7] Taufiqurrahman Kurniawan, Ilmu Falak & Tinjauan Matlak global, Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta, 2010, hal.39-40
[8] Drs. H. Yasin, M.Ag, dkk., Ibid., hal. 136
[9] http://rukyatulhilal.tripod.com/artikel.html
[10] Drs. H. Yasin, M.Ag, dkk., Ibid., hal. 139
[11] Abdul Aziz, M.Si., Ibid., hal.81
[12] Ali Imron, S.Th.I., M.S.I, Muhammadiyah di tengah Pusaran Kontroversi Hisab-Rukyat, Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga Tahun ke-32, tanggal 16 September 2011 , Yogyakarta
[13] . Wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar