HISAB,
RU’YAH SERTA PERMASALAHANNYA
I.
PENDAHULUAN
Masalah
penentuan awal bulan qamariah terutama awal bulan Ramadlan, Syawal, dan
Dzulhijjah merupakan persoalan klasik yang senantiasa aktual. Mengenai
penetapan awal bulan qamariah, termasuk penentuan ruang lingkup berlakunya (matla’),
prinsip-prinsipnya telah ditunjukan baik oleh al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Namun, karena ayat-ayat al-Qur’an tersebut dipandang dan difahami sebagai ayat
yang masih terbuka bagi penafsiran yang berbeda-beda, serta as-Sunnah yang
beraneka ragam redaksi yang diterima oleh para periwayat, maka muncul aneka
ragam pengertian dan kesimpulan. Sesuai dengan pemahaman terhadap kandungan al-Qur’an dan as-Sunnah tersebut,
kaum muslimin menempuh berbagai cara yang berbeda-beda pula.
Dalam
hal penetapan awal bulan qamariah, prinsip- prinsip yang terkandung dalan
al-Qur’an dan as-Sunnah tersebut diapresiasi dan diamalkan dengan cara yang
beraneka ragam dengan berbagai variasinya : rukyat, ijtima’ qablal-ghurub,
wujudul-hilal, bahkan imkanatur-ru’yat. ini merupakan problem yang
hingga kini belum dapat diselesaikan, bahkan secara pesimis keragaman itu akan
terus berlanjut dan tidak akan pernah selesai.
Begitu
pula masalah matla’, sebagai persoalan klasik yang timbul tenggelam,
yang memperdebatkan masalah apakah keputusan awal bulan qamariah itu berlaku
bagi seluas komunitas daerah, negara atau internasional. Hal ini disebabkan
oleh perbedaan pandangan dari segi penggalian hukum dan dalil-dalil syar’i yang
digunakan.
II.
PERMASALAHAN
1. Apa
yang menjadi akar masalah tentang penentuan bulan qamariah ?
2. Apakah
hisab dan ru’yat itu ?
3. Apa
saja kriteria dalam penetapan awal bulan
qamariah terutama awal bulan Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah ?
III.
PEMBAHASAN
A. Faham
Keagamaan Sebagai Akar Masalah
Perbedaan
pendapat tentang penentuan awal bulan qamariah
yang berkembang dalam masyarakat sesungguhnya lebih bersifat fiqhiyyah,
artinya perbedaan pendapat itu berawal dari masalah paradigma fiqih dan implementasinya. Para
ahli fikih umumnya, berpedoman pada paradigma bahwa hukum asal segala sesuatu
dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia (mu’amalah)
adalah boleh, kecuali apabila ada dalil eksplisit yang melarangnya, sedangkan
hukum asal dalam bidang ibadah adalah
dilarang, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu telah
diperitahkan oleh Allah dan atau dicontohkan oleh Rasul SAW.
Secara
filosofis, pembidangan materi fikih ini dirumuskan dalam sebuah kaidah populer
yang berbunyi:
الْاَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ
بِاالنِّسْبَةِ إِلَى الْمُكَلَّفِ التَّعَبُّدُ دُوْنَ الالتفات إِلَى
الْمَعَانِى وَ اَصْلُ الْعَادَتِ الالْتِقَاتُ إِلَى الْمَعَانِى.
”pada
dasarnya ibadah dalam hubungannya dengan mukallaf adalah bersifat ta’abbudi, tanpa
berpaling kepada makna-maknanya, sedangkan pada dasarnya ‘adat (muamalah) menoleh pada makna-maknanya.”[1]
Dengan
demikian, ada masalah-masalah yang dapat dipecahkan dengan rasio yang disebut
ta’aqquli atau ijtihadi, ada pula masalah yang hanya dapat
dipecahkan dengan wahyu yang disebut ta’abbudi.
Sebagian
kaum muslimin berpendapat bahwa ketentuan waktu puasa Ramadlan (termasuk idul
Fitri) dan metode atau tatacara untuk mengetahuinya termasuk dalam wilayah ta’abbudi. Oleh
karena itu harus dan hanya berdasar wahyu secara eksplisit. Dengan demikian,
metode yang digunakan untuk mengetahuinya adalah Rukyat. Jika rukyat tidak
berhasil maka jalan keluarnya adalah menyempurnakan umur bulan Sya’ban 30 hari
(untuk awal bulan Ramadlan) atau menyempurnakan bulan Ramadlan 30 hari (untuk
awal bulan Syawal). Sebagaimana hadits Nabi yang artinya :
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
الله عنه يقول : قال النبي ص.م اَوْ قال
اَبُوْ الْقَاسِمِ ص.م : صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ فَاِنْ عَبّر عَلَيْكُمْ
فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانِ ثَلاَثِيْنَ. (رواه البخاري)
Artinya : Dari Abu Hurairah ra.
bersabda Rasulullah SAW (yang dikenal pula dengan sebutan Abu Qasim):
“Berpuasalah kamu sekalian karena melihat bulan, jika kamu sekalian tidak dapat
melihat bulan, maka sempurnakanlah bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR.
Al-Bukhari)
Sebagian
yang lain membedakan antara ketentuan waktu puasa Ramadlan dan metode atau cara
mengetahuinya. Ketentuan waktu puasa Ramadlan termasuk dalam wilayah ta’abbudi
sedangkan metode atau cara mengetahui atau menentukannya termasuk dalam wilayah
ta’aqquli atau ijtihadi. Metode atau cara menentukannya dapat
dilakukan dengan metode Hisab.
Sebagaimana yang terdapat dalam QS.Yunus:5 berikut:
هُوَ الَذِى
جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُوْرًا وَّقَدَّرَه‘ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوْاعَدَدَ
الِسّنِيْنَ وَالْحِسَابَ, مَا خَلَقَ اللهُ ذَلِكَ اِلاَبِالْحَقّ, يُفَصِلُ اْلآايَتِ
لِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ.
( يونس:5 )
Artinya : “Dialah yang menjadikan
matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditempatkannya manzilah-manzilah
(tempat-tempat ) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaranNya) kepada
orang-orang yang mengetahui. (QS. Yunus: 5)
B. Pengertian
Hisab dan ru’yat
Masuknya
bulan Ramadlan dan tanggal mulainya idul Fitri sebagaimana umumnya dikenal
masyarakat Islam ditentukan oleh Ru’yat dan Hisab. Ru’yat adalah suatu cara
untuk menetapkan awal bulan Qamariah dengan jalan melihat dengan panca indra
mata timbul /munculnya bulan sabit dan bila udara mendung atau cuaca buruk
sehingga bulan tidak dapat dilihat maka hendaknya menggunakan istikmal
(menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari).
Hisab
adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan Qamariah dengan jalan menggunakan
perhitungan secara ilmu astronomi, sehingga dapat ditentukan secara eksak letak
bulan, dengan demikian diketahui pula awal bulan qamariah tersebut.[2]
Dari
dua jenis pendapat tersebut (Ru’yat dan Hisab) ada baiknya dicatat pendapat
Prof. T.M. hasbi Ash Siddiqy dalam bukunya Pedoman Ibadah puasa yang menyatakan
bahwa menentukan awal dan akhir puasa boleh mempergunakan salah satu dari dua
tersebut, baik sistem Hisab ataupun Ru’yah. Bukankah kedua-duanya mempunyai
alasan yang kuat menurut mereka masing-masing dan sama-sama bersumber dari
al-Qur’an dan Hadits.[3]
C. Kriteria
Penentuan Awal Bulan Qamariah
Ada
4 kriteria yang menjadi dasar penyusunan kalender hijriah di Indonesia
khususnya untuk penentuan awal Ramadlan, Syawal, dan Zulhijjah. Kriteria
tersebut masing-masing[4] :
1. Rukyat
al-hilal bil fi’li
Kriteria
ini menyatakan bahwa awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Zulhijjah dimulai sejak
terlihatnya hilal pada saat terbenam matahari tanggal 29. Kalau tidak terlihat,
maka jalan keluarnya adalah mengambil maksimum umur bulan 30 hari dan setelah
itu mulailah tanggal 1 bulan baru[5].
Berdasarkan
syari’at tersebut Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam berhaluan ahlussunnah
wal jamaah berketetapan mencontoh sunah Rasulullah dan para sahabatnya dan
mengikuti ijtihad para Ulama empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hambali) dalam hal penentuan awal bulan Hijriah wajib menggunakan ru’yatul
hilal bi fi’li, yaitu dengan meru’yat hilal secara langsung[6].
2. Ijtima’
qabl al-ghurub
Pada
prinsipnya kriteria ini pergantian awal bulan Qamariah dengan menjadikan
ijtima’ sebagai ketentuan pergantian awal bulan Qamariah dengan memberikan
batas terjadinya ijtima’ sebelum terbenam matahari.[7]
Jika
ijtima’ terjadi sebelum terbenam matahari maka malam hari itu sudah dianggap
bulan baru, sedangkan jika ijtima’ terjadi setelah terbenam matahari maka malam
itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang
sedang berlangsung. Sistem ini berpegang kepada ketentuan bahwa hari menurut
Islam dimulai dari saat terbenam matahari sampai dengan terbenam matahari
berikutnya. Dengan demikian, menurut pandangan ini ijtima’ adalah pemisah
diantara dua bulan Qamariah.[8]
3. Wujud
al-hilal
Kriteria
wujudul hilal, jika pada tanggal 29 dalam penanggalan Hijriyah atau hari
terjadinya ijma’/konjungsi telah
memenuhi 2 (dua) kondisi, yaitu[9]:
a)
Konjungsi telah terjadi
sebelum matahari tenggelam,
b)
Bulan tenggelam setelah
matahari, maka keesokan harinya telah dinyatakan sebagai awal bulan Hijriyah.
Cara
menentukannya sangat mudah yaitu dengan menempatkan matahari pada posisi
terbenam, lalu ditentukan posisi bulan. Bila bulan berkedudukan diatas ufuk itu
berarti menunjukkan bahwa bulan sudah berada di sebelah timur matahari. Situasi
demikian menunjukkan bahwa bulan baru qamariah sudah mulai atau dengan kata
lain hilal sudah wujud.
Dalil
dan interpretasinya yang digunakan oleh sistem ini sama dengan yang digunakan
oleh sistem hisab ijtima’ qablal-ghurub. Akan tetapi dalam hal
menetapkan adanya hilal mempersyaratkan adanya pada saat terbenam matahari,
artinya pada saat terbenam matahari bulan harus belum terbenam.[10]
Berdasarkan
konsep inilah Muhammadiyah dapat menyusun kalender Hijriyah termasuk penentuan awal
Ramadlan, idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang[11].
Menurut mereka, teori Wujudul hilal ini adalah “jalan tengah” antara aliran hisab
ijtima’ qabla al-ghurub dan imkanur ru’yah, atau jalan tengah antara
aliran hisab murni dan aliran rukyat murni.[12]
4. Imkan
ar-ru’yat
Kriteria
awal bulan Ramadlan, Syawal, dan Zulhijjah dimulai apabila saat terbenam
matahari setelah terjadi ijtima’/konjungsi, hilal sudah ada. Dalam pengertian mungkin dilihat,
artinya dalam kondisi normal hilal itu mungkin dapat dilihat.
Taqwim
standard empat negara ASEAN, yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah
Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura
(MABIMS) merumuskan:
Awal bulan hijriyyah terjadi jika :
1.
Pada saat
matahari terbenam, ketinggian (altitude) bulan diatas cakrawala minimum 2
derajat, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan –Matahari minimum 3 derajat.
2.
Pada saat Bulan terbenam,
usia bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Secara bahasa Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan
terlihatnya hilal. Secara praktis, imkanur rukyat dimaksudkan untuk
menjembatani metode rukyat dan metode hisab. Terdapat 3 kemungkinan kondisi.
1.
Ketinggian hilal
kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu
belum masuk bulan baru.Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
2.
Ketinggian hilal
lebih dari 2 derajat. Kemungkinan hilal dapat dilihat dalam kondisi ini.
Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal.
Sehingga awal bulan baru telah masuk. Metode hisab dan rukyat sepakat dalam
kondisi ini.
3.
Ketinggian hilal
antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan hilal tidak dapat dilihat secara rukyat.
Tetapi secara metode hisab hilal sudah diatas cakrawala. Jika ternyata hilal
berhasil dilihat ketika rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode
rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil
melihat hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari, sehingga
malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab
mengambil kesimpulan yang berbeda.
Meski demikian ada pendapat yang mengatakan bahwa pada
ketinggian kurang dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga
dipastikan ada perbedaan
penetapan awal bulan pada kondisi ini.[13]
IV.
KESIMPULAN
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan dimulainya awal bulan
pada kalender hijriyyah, dengan dua cara :
1. Rukyat
2. Hisab
Adapun
di Indonesia dalam menentukan awal bulan qomariyyah ada 4 kriteria;
1. Rukyatul
Hilal Bil Fi’li : dimulai
sejak terlihatnya hilal pada saat terbenam matahari tanggal 29. Kalau tidak
terlihat, maka jalan keluarnya adalah mengambil maksimum umur bulan 30 hari
2. Ijtima;
Qoblal Ghurub :
ijtima’ sebagai ketentuan pergantian awal bulan Qamariah dengan
memberikan batas terjadinya ijtima’ sebelum terbenam matahari.
3. Wujudul
Hilal : menempatkan matahari
pada posisi terbenam, lalu ditentukan posisi bulan.
4. Imkanur Rukyat : Penentuan awal bulan hijrriyyah ditetapkan
berdasarkan musyawarah MABIMS.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat kami sajikan, mudah-mudahan dapat bermanfaat khususnya bagi
pembaca dan umumnya masyarakat. Kritik dan saran yang konstruktif kami harapkan
untuk penyempurnaan penyusunan makalah selanjutnya. Jika ada kesalahan atau
kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon ma’af sebesar-besarnya.
DAFTAR PUSTAKA.
Ali Imron, S.Th.I.,
M.S.I, Muhammadiyah di tengah Pusaran Kontroversi Hisab-Rukyat, Diskusi
Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga Tahun ke-32, tanggal 16 September 2011 ,
Yogyakarta
Drs. H. Yasin, M.Ag,
dkk., Fiqh Ibadah, STAIN KUDUS, Kudus, 2008
Prof. Dr. Zakiah
Daradjat, Ilmu Fiqh jilid 2, PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995
Abdul Aziz, M.Si., Bumi
Sholat Secara Matematis, UIN-Malang Press, Malang, 2007
Taufiqurrahman
Kurniawan, Ilmu Falak & Tinjauan Matlak global, Kurnia Kalam
Semesta, Yogyakarta, 2010, hal.39-40
http//rukyatulhilal.tripod.com/artikel.html
Wikipedia
[1] Drs. H. Yasin, M.Ag,
dkk., Fiqh Ibadah, STAIN KUDUS, Kudus, 2008, hal.126
[2] Prof. Dr. Zakiah
Daradjat, Ilmu Fiqh jilid 2, PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995,
hal. 285
[3] Prof. Dr. Zakiah
Daradjat, Ibid., hal. 287
[4] Abdul Aziz, M.Si.,Bumi
Sholat Secara Matematis, UIN-Malang Press, Malang, 2007, hal.79
[5] Drs. H. Yasin, M.Ag,
dkk., Ibid., hal. 130
[6] Abdul Aziz, M.Si., Ibid.,
hal.80
[7] Taufiqurrahman
Kurniawan, Ilmu Falak & Tinjauan Matlak global, Kurnia Kalam
Semesta, Yogyakarta, 2010, hal.39-40
[8] Drs. H. Yasin, M.Ag,
dkk., Ibid., hal. 136
[9]
http://rukyatulhilal.tripod.com/artikel.html
[10] Drs. H. Yasin, M.Ag,
dkk., Ibid., hal. 139
[11] Abdul Aziz, M.Si., Ibid.,
hal.81
[12] Ali Imron, S.Th.I.,
M.S.I, Muhammadiyah di tengah Pusaran Kontroversi Hisab-Rukyat, Diskusi
Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga Tahun ke-32, tanggal 16 September 2011 ,
Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar