Kamis, 15 Mei 2014

MAQASID AL-SYARIAH



MAQASID AL-SYARIAH


Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqih II
Dosen Pengampu: Suhadi, M.S.I






Disusun Oleh:

                                      Siti Farrohah Alimina       : 110353
                                      Sugiarti                                : 110364
 

JURUSAN TARBIYAH / PAI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
TAHUN 2012

MAQASID AL- SYARIAH
A.    Pendahuluan
Perlu diketahui bahwa syariah tidak menciptakan hukum-hukumnya dengan kebetulan, tetapi dengan hukum-hukum itu bertujuan untuk mewujudkan maksud-maksud yang umum. Kita tidak dapat memahami nash-nash yang hakiki kecuali mengetahui apa yang dimaksud oleh syara’ dalam menciptakan nash-nash itu. petunjuk-petunjuk lafadz dan ibaratnya terhadap makna sebenarnya, kadang-kadang menerima beberapa makna yang ditarjihkan yang salah satu maknanya adalah mengetahui maksud syara’.
Kaidah-kaidah pembentukan hukum Islam ini, oleh ulama ushul diambil berdasarkan penelitian terhadap hukum-hukum syara’, illat-illatnya dan hikmah (filsafat) pembentukannya diantara nash-nash itu pula ada yang menetapkan dasar-dasar pembentukan hukum secara umum, dan pokok-pokok pembentukannya secara keseluruhan seperti juga halnya wajib memelihara dasar-dasar dan pokok–pokok itu dalam mengistimbath hukum dari nash-nashnya, maka wajib pula memelihara dasar-dasar dan pokok-pokok itu dalam hal yang tidak ada nashnya, supaya pembentukan hukum itu dapat merealisasikan apa yang menjadi tujuan pembentukan hukum itu, dan dapat mengantarkan kepada merealisasikan kemaslahatan manusia serta menegakkan keadilan diantara mereka.
Dalam makalah ini nanti akan dibahas berbagai macam hal yang berhubungan dengan Maqasid al-Syariah, baik mengenai pengertian, macam-macam dan tingkatan dari Maqasid al-Syariah.

B.     Rumusan Masalah
Dari berbagai uraian yang telah dijelaskan dalam pendahuluan, penulis tertarik untuk mengangkat beberapa permasalahan dalam makalah ini, yaitu :
1.      Apakah pengertian dari Maqasid al-Syariah itu?
2.      Apa sajakah macam-macam dari Maqasid al-Syariah?

C.    Pembahasan
1.      Pengertian Maqasid al-Syariah
Secara lughawi maqasid al syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah. Maqasid adalah bentuk jama’ dari maqsud yang berarti kesengajaan atau tujuan.[1] Syari’ah secara bahasa berarti المواضع تحدر الى الماء yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju air ini dapat dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan.[2]
Dalam karyanya al-Muwafaqat, al-Syatibi mempergunakan kata yang berbeda-beda berkaitan dengan maqasid al-syari’ah. Kata-kata itu ialah maqasid al-syari’ah,[3] al-maqasid al-syar’iyyah fi al-syari’ah,[4] dan maqasid min syar’i al-hukm.[5]
Menurut al-Syatibi sebagai yang dikutip dari ungkapannya sendiri:
هذه الشريعة...وضعت لتحقيق مقاصد الشارع فى قيام مصالحهم فى الدين والدنيا معا[6]
“ Sesungguhnya syariat itu bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.”
Dalam ungkapan yang lain dikatakan oleh al-Syatibi
الآحكام مشروعة لمصالحالعباد[7]
“Hukum-hukum disyari’atkan untuk kemaslahatan hamba."
Jadi, maqashid merupakan tujuan yang ingin dicapai dalam melakukan sesuatu. Terdapat berbagai pendefinisian telah dilontarkan oleh ulama usul fiqh tentang istilah maqasid. Ulama klasik tidak pernah mengemukakan definisi yang spesifik terhadap maqasid, malah al-Syatibi yang terkenal sebagai pelopor ilmu maqasid[8] pun tidak pernah memberikan definisi tertentu kepadanya. Namun ini tidak bermakna mereka mengabaikan maqasid syara' di dalam hukum-hukum syara'. Berbagai tanggapan terhadap maqasid dapat dilihat di dalam karya-karya mereka. Kita akan dapati tanggapan ulama klasik yang pelbagai inilah yang menjadi unsur di dalam definisi-definisi yang dikemukakan oleh ulama mutakhir selepas mereka. Apa yang pasti ialah nilai-nilai maqasid syara' itu terkandung di dalam setiap ijtihad dan hukum-hukum yang dikeluarkan oleh mereka. Ini karena nilai-nilai maqasid syara' itu sendiri memang telah terkandung di dalam al-Quran dan al-Sunnah.[9]
Ada yang menganggap maqasid ialah maslahah itu sendiri, sama dengan menarik maslahah atau menolak mafsadah.Ibn al-Qayyim menegaskan bahwa syariah itu berasaskan kepada hikmah-hikmah dan maslahah-maslahah untuk manusia di dunia atau di akhirat.Perubahan hukum yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariah dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia.[10] Sementara Al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat sedemikian apabila beliau mengatakan "Syariat itu semuanya maslahah, menolak kejahatan atau menarik kebaikan…".[11]
Ada juga yang memahami maqasid sebagai lima prinsip Islam yang asas yaitu menjaga agama, jiwa, akal , keturunan dan harta. Di satu sudut yang lain, ada juga ulama klasik yang menganggap maqasid itu sebagai logika pensyariatan sesuatu hukum.[12]
Kesimpulannya maqasid syariah ialah "matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat demi kepentingan umat manusia". Para ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara’, beberapa maslahah dan sebab-sebab yang menjadi dasar syariah telah menentukan bahwa maksud-maksud tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:
a.)    Golongan Ibadah, yaitu membahas masalah-masalah Ta’abbud yang berhubungan langsung antara manusia dan khaliqnya, yang satu persatu nya telah dijelaskan oleh syara’.
b.)    Golongan Muamalah Dunyawiyah, yaitu kembali pada maslahah-maslahah dunia, atau seperti yang ditegaskan oleh Al Izz Ibnu Abdis Salam sebagai berikut:
“Segala macam hukum yang membebani kita semuanya, kembali kepada maslahah di dalam dunia kita, ataupun dalam akhirat. Allah tidak memerlukan ibadah kita itu. Tidak memberi manfaat kepada Allah taatnya orang yang taat, sebagaimana tidak memberi mudarat kepada Allah maksiatnya orang yang durhaka”.
Akal dapat mengetahui maksud syara’ terhadap segala hukum muamalah, yaitu berdasarkan pada upaya untuk mendatangkan manfaat bagi manusia dan menolak mafsadat dari mereka. Segala manfaat ialah mubah dan segala hal mafsadat ialah haram. Namun ada beberapa ulama, diantaranya, Daud Azh – Zhahiri tidak membedakan antara ibadah dengan muamalah.[13]
2.      Macam-Macam Maqasid al-Syariah
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari mensyari’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:
a.)    Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia (Maqashid al- Dharuriyat)
Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan adalah bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu: Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang menjamin realisasinya dan pemeliharaannya. lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia kebutuhan primernya.
1)      Agama
Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang telah disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya (hubungan vertikal), dan hubungan antara sesama manusia (hubungan horizontal). agama Islam juga merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surat al-Maidah : 3
”pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”.
Beragama merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi karena agama lah yang dapat menyentuh nurani manusia. seperti perintah Allah agar kita tetap berusaha menegakkan agama, seperti firman-Nya dalam surat Asy-syura : 13.
Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang hendak meruska akidahnya, ibadah-ibadah akhlaknya,atau yang akan mencampur adukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai paham dan aliran yang batil. walau begitu, agama islam memberi perlindungan dan kebebasan bagi penganut agama lain untuk meyakini dan melaksanakan ibadah menurut agama yang diyakininya, orang-orang islam tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama islam. hal ini seperti yang telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya dalam surat al-Baqarah : 256.
2)      Memelihara Jiwa
Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qisas (pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat (tebusan) sehingga dengan demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang membunuh tersebut juga akan mati, atau jika yang dibunuh tersebut cidera, maka si pelakunya akan cidera yang seimbang dengan perbuatannya.
Banyak ayat yang menyebutkan tentang larangan membunuh, begitu pula hadist dari nabi Muhammad, diantara ayat-ayat tersebut adalah :
1)      Surat Al-Baqarah ayat 178-179
2)      Surat al-an’am ayat 151
3)      Surat Al-Isra’ ayat 31
4)      Surat Al-Isra’ ayat 33
5)      Surat An-Nisa ayat 92-93
6)      Surat Al-Maidah ayat 32.
Berikut ini adalah salah satu contoh ayat yang melarang pembunuhan terjadi di dunia, yaitu surat Al-Isra’ ayat 33
 “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar[853]. dan barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya kami Telah memberi kekuasaan[854] kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.
3)      Memelihara Akal
Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara seluruh makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan melengkapi bentuk itu dengan akal.   
Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang minum Khomr (jenis menuman keras) dan setiap yang memabukkan dan menghukum orang yang meminumnya atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.
Begitu banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal dan menggunakan akalnya tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik pelajaran kepada seluruh hal yang ada di bumi ini, termasuk kepada binatang ternak, kurma, hingga lebah, seperti yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 66-69.
“66.  Dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.
67.  Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.
68.  Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia",
69.  Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan (bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan”.

4)      Memelihara Keturunan
Untuk memelihara keturunan, Islam telah mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, sebagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu dianggap sah dan percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan itu dinggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Islam tak hanya melarang zina, tapi juga melarang perbuatan-perbutan dan apa saja yang dapat membawa pada zina.

5)      Memelihara harta benda
Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’ kepada harta benda, dan mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual beli, sewa menyewa, gadai menggadai dll[14].

b.)    Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia (Maqashid al-Hajiyat)
Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu yan gdapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yan gmenyulitkan mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar menukar bagi mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam berbagai ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan menghilangkan kesempitan dan meringankan beban manusia.
Dalam lapangan ibadah, Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh (keringanan, kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesullitan dalam melaksanakan hukum azimah (kewajiban). contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang bulan ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.
Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan urusan (tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. seperti, jual beli, syirkah (perseroan), mudharobah (berniaga dengan harta orang lain) dll.

c.)    Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia (Maqashid al-Tahsini)
Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu’), maka Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya. Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang dilaksanakannya sebelum sempurna .
Ketika Islam menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga kepentingan tersebut[15].

D.    Kesimpulan
Maqasid syariah ialah matlamat-matlamat yang ingin dicapai oleh syariat demi kepentingan umat manusia.
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari menasyri’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:
a.)    Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia. Kebutuhan primer ini dibagi menjadi lima, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta
b.)    Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia. Kebutuhan ini yang dapat memperlancar hubungan antar manusia, seperti muamalah, mubadalah ibadah secara horizontal, dll.
c.)    Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia.

E.     Daftar Pustaka

Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
Hammad al-Obeidi, al-Syatibi wa Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da'wah al-Islamiyyah, Tripoli, cet. Pertama, 1401H/1992
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996, jilid 3
Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi aksara, Jakarta, 1992
Khairul Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 2001
Muhammad Fathi al-Duraini, al-Manahij al-usuliyyah, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1997
Nuruddin Mukhtar, al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi,Qatar , 1998


[1] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, J. Milton Cowan (ed)(London: Mac Donald &Evan Ltd, 1980), hlm. 767
[2] Ibn Mansur al-Afriqi, Lisan al-‘Arab, Dar al-Sadr, Beirut, hlm.175
[3] Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Kairo, I, hlm. 21
[4] Ibid, hlm. 23
[5] Ibid, hlm. 374
[6] Ibid, hlm.6
[7] Ibid,  hlm. 54
[8]  Hammad al-Obeidi, al-Syatibi wa Maqasid al-Syariah, Mansyurat Kuliat al-Da'wah al-Islamiyyah, Tripoli, cet. Pertama, 1401H/1992M, m.s. 131
[9] Muhammad Fathi al-Duraini, al-Manahij al-usuliyyah, Beirut, Muassasah al-Risalah, 1997M, m.s.48.
[10] Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I'lam al-Muwaqqi'in, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996M, jil.3, m.s.37
[11] Al-Izz bin Abdul Salam, opcit, jil.1, m.s.9.
[12]Nuruddin Mukhtar, al-Khadimi, al-Ijtihad al-Maqasidi,Qatar , 1998M , m.s.50
[13] Kahairul Umam dan Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm 125-126.
[14] Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Bumi aksara, Jakarta, 1992, hlm 67-101
[15] Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Abdul Wahab Khallaf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm 333-343

9 komentar:

  1. اسلام عليكم اخت
    minta ijin download
    jazakillah khairan katsira
    barakallahu fiik

    BalasHapus
  2. terima kasih telah menulis artikel sperti ini.

    BalasHapus
  3. masya Allah,,,, sangat bermanfaat,,,

    BalasHapus
  4. Terimakasih sangat membantu sekali

    BalasHapus
  5. Afwan ana mau izin untuk dijadikan sumber

    BalasHapus
  6. Terrima kasih. Ijin copas. Sangat membantu sekali. Semoga blognya semakin maju.

    BalasHapus