KETERBELAKANGAN
MENTAL DAN PENDIDIKAN DENGAN INDIVIDU KHUSUS
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi
Tugas
Mata Kuliah : Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu
: Sulthon, M.Ag., M.Pd
Disusun oleh :
1. Saadatun Nuraini : 110357
2. Nazif Fahmi :
110363
3. Sugiarti : 110364
4. Ita Purniawati : 110372
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
2012
KETERBELAKANGAN
MENTAL DAN PENDIDIKAN DENGAN INDIVIDU KHUSUS
A. PENDAHULUAN
Anak
merupakan karunia terbesar yang diberikan sang pencipta kepada manusia. Dalam
menciptakan manusia, Allah mempunyai rahasia tersendiri, ada yang dilahirkan
normal dan ada pula yang dilahirkan tidak normal. Anak-anak yang dilahirkan
tidak normal dapat juga dikatakan sebagai anak cacat.
Tidak
ada satu anak manusia yang diciptakan sama yang satu dengan lainnya. Tidak ada
satu anak manusia tidak memiliki kekurangan. Tidak ada satu anak manusia yang
ingin dilahirkan ke dunia ini dengan menyandang kelainan atau memiliki
kecacatan. Demikian juga tidak akan ada seorang Ibu yang menghendaki kelahiran
anaknya menyandang kecacatan. Dengan demikian maka sejak kelahirannya ke dunia,
anak cacat atau dikenal dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) sudah tidak
dikehendaki oleh kedua orang tuanya. Konsekuensi logis bila ABK akan menghadapi
banyak tantangan dari lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan
pendidikan.
Kelahiran
seorang ABK tidak mengenal apakah mereka dari keluarga kaya, keluarga
berpendidikan, keluarga miskin, keluarga yang taat beragama atau tidak. Bila
Tuhan menghendaki keluarga itu dititipi seorang ABK maka kemungkinan semua itu
bisa terjadi. Akan tetapi Tuhan melihat dan menghargai manusia tidak dari
kecacatannya secara fisik, mental atau social. Tuhan melihat manusia dari
ketakwaan kepada Nya.
Dititipkannya
ABK pada satu keluarga bukan berarti keluarga tersebut mendapat kutukan, tetapi
dititipkannya ABK pada satu keluarga karena Tuhan menguji atau memberi
kesempatan pada keluarga tersebut untuk berbuat yang terbaik pada anaknya.
Sebagai
manusia, ABK memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang di tengah-tengah
keluarga, masyarakat dan bangsa. Ia memiki hak untuk sekolah sama seperti
saudara lainnya yang tidak memiliki kelainan atau normal.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah keterbelakangan mental itu ?
2. Bagaimana karakteristik, klasifikasi,
perkembangan serta dampak keterbelakangan mental dalam pendidikan dengan
individu khusus itu ?
3. Bagaimana implikasi pendidikan terhadap
anak tunagrahita ?
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Keterbelakangan Mental
Keterbelakangan
mental disebut juga dengan tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang
digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah
rata-rata. Dalam kepustakaan bahasa asing digunakan istilah-istilah mental
retardation, mental retarded, mentally deviciency, mental detective, dan
lain-lain.
Istilah-istilah
diatas mempunyai arti yang sama yaitu memaparkan kondisi anak yang
kecerdasannya dibawah rata-rata dan ditandai dengan keterbatasan intelegensi
dan ketidakcakapannya dalam berinteraksi sosial. Dengan latar belakang seperti
ini, Alfred Binet tampil dengan konsep baru tentang psikologi bahwa kecerdasan
diteliti secara langsung tanpa adanya perantara lagi. Selanjutnya Binet
melontarkan pula ide baru yang diistilahkan dengan “Mental Level” yang
kemudian menjadi “Mental Age”.[1]
Mental Age adalah kemampuan mental yang dimiliki oleh anak pada usia tertentu.
Retardasi
mental ialah keadaan dengan intelegensi yang kurang (subnormal) sejak masa
perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak). Biasanya terdapat perkembangan
mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama (yang menonjol) ialah
intelegensi yang terbelakang (gangguan intelegensi). Retardasi mental disebut
juga oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna
mental.[2]
Untuk
tidak memberikan pengertian yang berbaur perlu dijelaskan bahwa, dari sejarah
penyebabnya, intelegensi subnormal terbagi atas dua macam, yaitu mental
terhambat atau mental terbelakang atau lemah mental (mentally retarded) dan
cacat mental ( mentally defective). Penderita mental terhambat biasanya tidak
menunjukkan tanda-tanda kelainan fisik. Secara fisik mereka sehat dan normal
serta tidak mempunyai sejarah penyakit atau luka yang mungkin menyebabkan
kerusakan mental. Penderita mengalami kelemahan mental secara umum dan bukan
dikarenakan cacat tertentu. Dengan kata lain, kelemahan mental yang diderita
tidak mempunyai dasar organik. Sering kali didapati bahwa penderita memang
mempunyai garis retardasi mental dalam keluarganya.
Untuk
memahami anak tunagrahita ada baiknya kita telaah definisi tentang anak ini
yang dikembangkan oleh AAMD (American Association of Mental Deficiency)
sebagai berikut: “Keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelektual dibawah
rata-rata secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian
perilaku dan terjadi pada masa perkembangan” (Kauffman dan Hallahan, 1986)[3]
2. Karakteristik, Klasifikasi, Perkembangan
serta Dampak Keterbelakangan Mental
a. Karakteristik umum tunagrahita yang
dapat kita pelajari, yaitu:
1) Keterbatasan intelegensi
Intelegensi
merupakan fungsi yang sangat kompleks yang dapat diartikan sebagai kemampuan
untuk mempelajari informasi dan ketrampilan-ketrampilan menyesuaikan diri
dengan masalah-masalah dan situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari
pengalaman masa lalu, berpikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis,
menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi kesulitan-kesulitan, dan kemampuan
untuk merencanakan masa depan. Anak tunagrahita memiliki kekurangan dalam semua
hal tersebut. Kapasitas belajar anak tunagrahita terutama yang bersifat abstrak
seperti belajar dan berhitung, menulis dan membaca juga terbatas. Kemampuan
belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan
membeo.
2) Keterbatasan sosial
Disamping
memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga memiliki kesulitan
dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena itu mereka memerlukan
bantuan.
Anak
tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya,
ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul
tanggungjawab sosial dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing
dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu
tanpa memikirkan akibatnya.
3) Keterbatasan fungsi-fungsi mental
lainnya
Anak
tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Mereka bukannya
mengalami kerusakan artikulasi, akan tetapi pusat pengolahan (perbendaharaan
kata) yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Karena alasan itu mereka
membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarkan. Selain itu perbedaan dan
persamaan harus ditunjukkan secara berulang-ulang. Latihan-latihan sederhana
seperti mengajarkan konsep besar dan kecil, keras dan lemah, perlu menggunakan
pendekatan yang konkret.
Setiap
anak dengan kebutuhan khusus memiliki karakteristik (ciri-ciri) tertentu yang
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk keperluan identifikasi, di
bawah ini akan disebutkan ciri-ciri yang menonjol dari masing-masing jenis anak
dengan kebutuhan khusus. [4]
a.
Penampilan
fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/ besar,
b.
Tidak dapat
mengurus diri sendiri sesuai usia,
c.
Perkembangan
bicara/bahasa terlambat,
d.
Tidak
ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong),
e.
Koordinasi
gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali),
f.
Sering
keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler)
b. Klasifikasi anak tunagrahita
1) Tunagrahita ringan
Tunagrahita
ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ
antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ
69-55. Anak terbelakang mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial
secara independen. Pada umumnya anak tunagrahita ringan tidak mengalami
gangguan fisik.
2) Tunagrahita sedang
Anak
tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36
pada Skala Binet dan 54-40 menurut Skala Weschler (WISC). Anak terbelakang mental
sedang bisa mencapai perkembangan MA sampai kurang lebih 7 tahun.
3) Tunagrahita berat
Kelompok
anak tunagrahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini dapat
dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita
berat (severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala Biner dan antara
39-25 menurut Skala Weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound)
memiliki IQ dibawah 19 menurut Skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut Skala
Weschler (WISC). Kemampuan maksimal yang dapat dicapai kurang dari tiga
tahun.
c. Perkembangan anak tunagrahita
1) Perkembangan fisik anak tunagrahita
Fungsi-fungsi
perkembangan anak tunagrahita itu ada yang tertinggal jauh oleh anak nornal.
Diantara fungsi-fungsi yang menyamai atau hampir menyamai anak normal ialah
fungsi perkembangan jasmani dan motorik.
Perkembangan
jasmani dan motorik anak tunagrahita tidak secepat perkembangan anak normal
sebagaimana banyak ditulis orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
kesegaran jasmani anak terbelakang mental atau tunagrahita yang memiliki MA 2
tahun sampai dengan 12 tahun ada dalam kategori kurang sekali. Sedang anak
normal pada umur yang sama ada dalam kategori kurang (Umardjani Martasuta,
1984). Dengan demikian tingkat kesegaran jasmani anak tugrahita setingkat lebih
rendah dibanding dengan anak normal pada umur yang sama.
2) Perkembangan kognitif anak tunagrahita
Suppes
(1974) menjelaskan bahwa kognisi merupakan bidang yang luas yang meliputi semua
keterampilan akademik yang berhubungan dengan wilayah persepsi. Ahli-ahli
psikologi perkembangan berusaha untuk memahami mekanisme perubahan kognitif
pada berbagai perkembangan kognitif.
Dalam
hal kecepatan belajar (learning rate), anak tunagrahita jauh ketinggalan
oleh anak normal. Untuk mencapai kriteria-kriteria yang dicapai oleh anak
normal, anak tunagrahita lebih banyak memerlukan ulangan tentang bahan
tersebut. Dalam kaitannya dengan makna pelajaran, ternyata anak tunagrahita
dapat mencapai prestasi lebih baik dalam tugas-tugas diskriminasi (misalnya
mengumpulkan bentuk-bentuk yang berbeda, memisahkan pola-pola yang berbeda,
dsb) jika mereka melakukannya dengan pengertian.
Berkenaan
dengan memori, anak tunagrahita berbeda dengan anak normal pada short term
memory. Anak tunagrahita tampaknya tidak berbeda dengan anak normal dalam long
term memory, daya ingatnya sama dengan anak normal. Akan tetapi bukti-bukti
menunjukkan anak tunagrahita berbeda dengan anak normal dalam hal mengingat
yang segera (immediate memory).
3) Perkembangan bahasa anak tunagrahita
Bahasa
didefinisikan oleh Myklebust (1955) sebagai perilaku simbolik mencakup
kemampuan mengikhtisarkan, mengikatkan kata-kata dengan arti, dan
menggunakannya sebagai simbol untuk berpikir dan mengekspresikan ide, maksud,
dan perasaan.
Secara umum perkembangan bahasa digambarkan sebagai
berikut:
a) Inner language
Inner
Language adalah aspek bahasa yang pertama
berkembang. Muncul kira-kira pada usia 6 bulan. Karakteristik perilaku yang
muncul pada tahap ini adalah pembentukan konsep-konsep sederhana, seperti anak
mendemonstrasikan pengetahuannya tentang hubungan sederhana antara satu objek
dengan objek lainnya.
b) Receptive language
Setelah
inner language berkembang, maka tahap berikutnya adalah receptive
language. Anak pada usia kira-kira 8 bulan mulai mengerti sedikit-sedikit
tentang apa yang dikatakan orang lain kepadanya. Anak mulai merespon apabila
namanya dipanggil dan mulai sedikit mengerti perintah. Menjelang kira-kira umur
4 tahun, anak lebih menguasai kemahiran mendengar dan setelah itu proses
penerimaan (receptive process) memberikan perluasan kepada sistem bahasa
verbal.
c) Expressive language
Aspek
terakhir dari perkembangan bahasa adalah bahasa ekspresif (expressive
language). Menurut Myklebust expressive language berkembang setelah
pemantapan pemahaman. Bahasa ekspresif anak muncul pada usia kira-kira satu
tahun. Perkembangan bahasa erat kaitannya dengan perkembangan kognisi, keduanya
mempunyai hubungan timbal balik. Perkembangan kognisi anak tunagrahita mengalami
hambatan, karenanya perkembangan bahasanya juga dapat terhambat.
4) Emosi, penyesuaian sosial, dan
kepribadian anak tunagrahita
Perkembangan
dorongan (drive) dan emosi berkaitan dengan derajat ketunagrahitaan seorang
anak. Anak tunagrahita berat tidak dapat menunjukkan dorongan pemeliharaan
dirinya sendiri. Mereka tidak bisa menunjukkan rasa lapar atau haus dan tidak
dapat menghindari bahaya. Pada anak tunagrahita sedang, dorongan berkembang
lebih baik tetapi kehidupan emosinya terbatas pada emosi-emosi yang sederhana.
Pada
anak terbelakang ringan, kehidupan emosinya tidak jauh berbeda dengan anak
normal, akan tetapi tidak sekaya anak normal. Anak tunagrahita dapat
memperlihatkan kesedihan tetapi sukar untuk menggambarkan suasana terharu.
Mereka bisa mengekspresikan kegembiraan tetapi sulit mengungkapkan kekaguman.
Penyesuaian
diri merupakan proses psikologis yang terjadi ketika kita menghadapi berbagai
situasi. Seperti anak normal, anak tunagrahita akan menghayati suatu emosi,
jika kebutuhannya terhalangi. Emosi-emosi ini tampak pada anak tunagrahita yang
masih muda terhadap peristiwa-peristiwa yang bersifat konkret. Anak terbelakang
yang masih muda akan merasa takut terhadap hal-hal yang berkenaan dengan
hubungan sosial.
Tingkah
laku sosial, tingkah laku keterikatan dan ketergantungan adalah kontak anak
dengan orang dewasa (orang lain). Masalah keterikatan anak dan ketergantungan
anak terbelakang telah diteliti oleh Zigler (1961) dan Steneman (1962,1969).
Seperti halnya anak normal, anak tunagrahita yang masih muda mula-mula memiliki
tingkah laku keterikatan kepada orang tua dan orang dewasa lainnya.
d. Dampak ketunagrahitaan
Orang
yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah orang tua dan
keluarga anak tersebut. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa penanganan anak
tunagrahita merupakan resiko psikiatri keluarga. Keluarga anak tunagrahita
berada dalam resiko, mereka menghadapi resiko yang berat. Saudara-saudara anak
tersebut pun menghadapi hal-hal yang bersifat emosional.
Saat
yang kritis adalah ketika keluarga itu pertama kali menyadari bahwa anak mereka
tidak normal seperti anak lainnya. Jika anak tersebut menunjukkan gejala-gejala
kelainan fisik, maka kelainan anak dapat segera diketahui sejak anak
dilahirkan. Tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kelainan fisik, maka
orang tua hanya akan mengetahui dari hasil pemeriksaan. Cara menyampaikan hasil
pemeriksaan sangatlah penting. Orang tua mungkin menolak kenyataan atau
menerima dengan beberapa persyaratan tertentu.
Lahirnya
anak cacat (tunagrahita) selalu merupakan tragedi. Reaksi orang tua
berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor, misalnya apakah kecacatan
tersebut dapat segera diketahuinya atau terlambat diketahuinya. Faktor lain
yang juga sangat penting ialah derajat ketunagrahitaannya dan jelas tidaknya
kecacatan tersebut terlihat orang lain.
3. Implikasi Pendidikan
Anak
yang memiliki intelegensi abnormal, baik sangat tinggi (superior) maupun yang
sangat rendah (inferior) sama-sama menimbulkan masalah bila ditinjau dari dunia
pendidikan. Pentingnya makna perbedaan individual, khususnya dalam hal ini
perbedaan intelegensi, membawa kesadaran dalam dunia pendidikan akan perlunya
perlakuan khusus terhadap anak didik yang tergolong memiliki intelegensi begitu
rendah sehingga kemampuan belajarnya sangat terbatas memerlukan program khusus
yang memungkinkan mereka belajar dengan beban dan kecepatan yang sesuai dengan
keterbatasan mereka. Pada sisi lain, anak yang memiliki kemampuan superior pun
memerlukan program khusus yang memungkinkan mereka mengembangkan segenap
potensi berlebih yang mereka punyai sehingga dapat mencapai prestasi yang
optimal dan tidak menimbulkan problem psikologi lain.[5]
Tidaklah
bijaksana untuk memperlakukan sama anak-anak yang memiliki potensi berbeda
semata-mata karena mereka kebetulan duduk di kelas yang sama. Anak yang lambat
belajar (slow learner) akan merasakan siksaan di sekolah maupun di rumah
karena ketidakmampuan mereka mengikuti pelajaran sebagaimana teman-teman
sekelasnya. Anak-anak ini merasa rendah diri, kadang-kadang sampai menarik diri
dari pergaulan dan meraasa tidak pernah dapat sejajar dengan teman-temannya.
Sebaliknya,
anak yang superior tidak kurang mendatangkan masalah. Mereka merasa menerima
pelajaran yang terlalu mudah bagi diri mereka. Mereka cenderung melihat
teman-temannya sebagai terlalu bodoh.
Di
Indonesia, sekolah khusus untuk anak yang berkemampuan inferior telah banyak
didirikan dan dikenal sebagai sekolah luar biasa dengan kurikulum yang khusus
pula bagi mereka.
Di Indonesia sendiri sekolah luar biasa menjadi lembaga pendidikan yang diminati para orang tua
mulai kalangan bawah sampai atas. Efendi (2006) menjelaskan berdasarkan urutan sejarah berdirinya SLB pertama untuk masing-masing
kategori kecacatan SLB itu di kelompokkan menjadi : (1) SLB bagian A untuk anak
tuna netra, (2) SLB bagian B untuk anak tuna rungu, (3) SLB bagian C untuk anak
tuna Grahita, (4) SLB bagian D untuk anak tuna daksa, (5) SLB bagian E untuk
anak tuna laras, (6) dan SLB bagian F untuk anak cacat ganda.
Dengan pemberian layanan pendidikan khusus yang relevan dengan kebutuhannya, sisa potensi yang dimiliki oleh anak berkelainan diharapkan dapat
berkembang secara optimum (Efendi, 2006). Banyak anak dengan retardasi mental
menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu, terutama bila mereka mendapatkan
dukungan, bimbingan dan kesempatan pendidikan yang besar dari lingkungan.
Mereka yang tumbuh dalam lingkungan yang kurang mendukung dapat mengalami
kegagalan untuk berkembang atau kemunduran dalam hubungannya dengan anak-anak
lain (Nevid, 2005). [6]
D. KESIMPULAN
1. Pengertian Keterbelakangan Mental
Keterbelakangan mental
disebut juga dengan tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan
untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Retardasi
mental ialah keadaan dengan intelegensi yang kurang (subnormal) sejak masa
perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak).
2. Karakteristik, Klasifikasi, Perkembangan
serta Dampak Keterbelakangan Mental
a. Karakteristik umum tunagrahita
1) Keterbatasan intelegensi
2) Keterbatasan sosial
3) Keterbatasan fungsi-fungsi mental
lainnya
b. Klasifikasi anak tunagrahita
1) Tunagrahita ringan
2) Tunagrahita sedang
3) Tunagrahita berat
c. Perkembangan anak tunagrahita
1) Perkembangan fisik anak tunagrahita
2) Perkembangan kognitif anak tunagrahita
3) Perkembangan bahasa anak tunagrahita
4) Emosi, penyesuaian sosial, dan
kepribadian anak tunagrahita
d. Dampak ketunagrahitaan
Orang yang paling
banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah orang tua dan keluarga
anak tersebut. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa penanganan anak tunagrahita
merupakan resiko psikiatri keluarga.
3. Implikasi Pendidikan
Dengan pemberian layanan pendidikan khusus yang relevan dengan kebutuhannya, sisa potensi yang dimiliki oleh anak berkelainan diharapkan dapat
berkembang secara optimum
E. PENUTUP
Demikian pembahasan dari makalah kami, semoga bermanfaat dan dapat
menambah ilmu pengetahuan kita tentang keterbelakangan mental. Saran dan kritik
yang membangun tak lupa kami harapkan demi kebenaran dari makalah kami
selanjutnya, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
http://10117nm.blogspot.com/2011/05/bagaimanakah-sebaiknya-pendidikan-untuk.html
http://jakartahomeschoolingmyblog.wordpress.com/perihal/anak-dengan-kebutuhan-khusus-dan-identifikasinya/
Muzdalifah, Psikologi
Pendidikan, STAIN Kudus, Kudus, 2008
T. Sutjihati Somantri,
M.Si., psi., Psikologi Anak Luar
Biasa, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006
[1] T. Sutjihati Somantri,
M.Si., psi., Psikologi Anak Luar
Biasa, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006, hal.103
[2] Muzdalifah, Psikologi
Pendidikan, STAIN Kudus, Kudus, 2008, hal.183
[3] T. Sutjihati Somantri,
Op.cit., hal. 104
[4]
http://jakartahomeschoolingmyblog.wordpress.com/perihal/anak-dengan-kebutuhan-khusus-dan-identifikasinya/
[5] Muzdalifah, Op.Cit., hal
195-196
[6]
http://10117nm.blogspot.com/2011/05/bagaimanakah-sebaiknya-pendidikan-untuk.html
good paper. terus menulis!:)
BalasHapusgood paper. terus menulis!:)
BalasHapus