Kamis, 15 Mei 2014

KETERBELAKANGAN MENTAL DAN PENDIDIKAN DENGAN INDIVIDU KHUSUS



KETERBELAKANGAN MENTAL DAN PENDIDIKAN DENGAN INDIVIDU KHUSUS

MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah :  Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu :  Sulthon, M.Ag., M.Pd


 










Disusun oleh :

1.      Saadatun Nuraini                  :     110357
2.      Nazif Fahmi                           :     110363
3.      Sugiarti                                   :     110364
4.      Ita Purniawati                       :     110372                 

 

    SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN TARBIYAH / PAI
2012

KETERBELAKANGAN MENTAL DAN PENDIDIKAN DENGAN INDIVIDU KHUSUS
A.  PENDAHULUAN
Anak merupakan karunia terbesar yang diberikan sang pencipta kepada manusia. Dalam menciptakan manusia, Allah mempunyai rahasia tersendiri, ada yang dilahirkan normal dan ada pula yang dilahirkan tidak normal. Anak-anak yang dilahirkan tidak normal dapat juga dikatakan sebagai anak cacat.
Tidak ada satu anak manusia yang diciptakan sama yang satu dengan lainnya. Tidak ada satu anak manusia tidak memiliki kekurangan. Tidak ada satu anak manusia yang ingin dilahirkan ke dunia ini dengan menyandang kelainan atau memiliki kecacatan. Demikian juga tidak akan ada seorang Ibu yang menghendaki kelahiran anaknya menyandang kecacatan. Dengan demikian maka sejak kelahirannya ke dunia, anak cacat atau dikenal dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) sudah tidak dikehendaki oleh kedua orang tuanya. Konsekuensi logis bila ABK akan menghadapi banyak tantangan dari lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pendidikan.
Kelahiran seorang ABK tidak mengenal apakah mereka dari keluarga kaya, keluarga berpendidikan, keluarga miskin, keluarga yang taat beragama atau tidak. Bila Tuhan menghendaki keluarga itu dititipi seorang ABK maka kemungkinan semua itu bisa terjadi. Akan tetapi Tuhan melihat dan menghargai manusia tidak dari kecacatannya secara fisik, mental atau social. Tuhan melihat manusia dari ketakwaan kepada Nya.
Dititipkannya ABK pada satu keluarga bukan berarti keluarga tersebut mendapat kutukan, tetapi dititipkannya ABK pada satu keluarga karena Tuhan menguji atau memberi kesempatan pada keluarga tersebut untuk berbuat yang terbaik pada anaknya.
Sebagai manusia, ABK memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang di tengah-tengah keluarga, masyarakat dan bangsa. Ia memiki hak untuk sekolah sama seperti saudara lainnya yang tidak memiliki kelainan atau normal.

B.  RUMUSAN MASALAH
1.    Apakah keterbelakangan mental itu ?
2.    Bagaimana karakteristik, klasifikasi, perkembangan serta dampak keterbelakangan mental dalam pendidikan dengan individu khusus itu ?
3.    Bagaimana implikasi pendidikan terhadap anak tunagrahita ?

C.  PEMBAHASAN
1.    Pengertian Keterbelakangan Mental
Keterbelakangan mental disebut juga dengan tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Dalam kepustakaan bahasa asing digunakan istilah-istilah mental retardation, mental retarded, mentally deviciency, mental detective, dan lain-lain.
Istilah-istilah diatas mempunyai arti yang sama yaitu memaparkan kondisi anak yang kecerdasannya dibawah rata-rata dan ditandai dengan keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapannya dalam berinteraksi sosial. Dengan latar belakang seperti ini, Alfred Binet tampil dengan konsep baru tentang psikologi bahwa kecerdasan diteliti secara langsung tanpa adanya perantara lagi. Selanjutnya Binet melontarkan pula ide baru yang diistilahkan dengan “Mental Level” yang kemudian menjadi “Mental Age”.[1] Mental Age adalah kemampuan mental yang dimiliki oleh anak pada usia tertentu.
Retardasi mental ialah keadaan dengan intelegensi yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak). Biasanya terdapat perkembangan mental yang kurang secara keseluruhan, tetapi gejala utama (yang menonjol) ialah intelegensi yang terbelakang (gangguan intelegensi). Retardasi mental disebut juga oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental.[2]
Untuk tidak memberikan pengertian yang berbaur perlu dijelaskan bahwa, dari sejarah penyebabnya, intelegensi subnormal terbagi atas dua macam, yaitu mental terhambat atau mental terbelakang atau lemah mental (mentally retarded) dan cacat mental ( mentally defective). Penderita mental terhambat biasanya tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan fisik. Secara fisik mereka sehat dan normal serta tidak mempunyai sejarah penyakit atau luka yang mungkin menyebabkan kerusakan mental. Penderita mengalami kelemahan mental secara umum dan bukan dikarenakan cacat tertentu. Dengan kata lain, kelemahan mental yang diderita tidak mempunyai dasar organik. Sering kali didapati bahwa penderita memang mempunyai garis retardasi mental dalam keluarganya. 
Untuk memahami anak tunagrahita ada baiknya kita telaah definisi tentang anak ini yang dikembangkan oleh AAMD (American Association of Mental Deficiency) sebagai berikut: “Keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelektual dibawah rata-rata secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan” (Kauffman dan Hallahan, 1986)[3]   

2.    Karakteristik, Klasifikasi, Perkembangan serta Dampak Keterbelakangan Mental
a.      Karakteristik umum tunagrahita yang dapat kita pelajari, yaitu:
1)   Keterbatasan intelegensi
Intelegensi merupakan fungsi yang sangat kompleks yang dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan ketrampilan-ketrampilan menyesuaikan diri dengan masalah-masalah dan situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari pengalaman masa lalu, berpikir abstrak, kreatif, dapat menilai secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi kesulitan-kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa depan. Anak tunagrahita memiliki kekurangan dalam semua hal tersebut. Kapasitas belajar anak tunagrahita terutama yang bersifat abstrak seperti belajar dan berhitung, menulis dan membaca juga terbatas. Kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau cenderung belajar dengan membeo.  
2)   Keterbatasan sosial
Disamping memiliki keterbatasan intelegensi, anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat, oleh karena itu mereka memerlukan bantuan.
Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih muda usianya, ketergantungan terhadap orang tua sangat besar, tidak mampu memikul tanggungjawab sosial dengan bijaksana, sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan akibatnya.
3)   Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya
Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi, akan tetapi pusat pengolahan (perbendaharaan kata) yang kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Karena alasan itu mereka membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarkan. Selain itu perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara berulang-ulang. Latihan-latihan sederhana seperti mengajarkan konsep besar dan kecil, keras dan lemah, perlu menggunakan pendekatan yang konkret.
Setiap anak dengan kebutuhan khusus memiliki karakteristik (ciri-ciri) tertentu yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk keperluan identifikasi, di bawah ini akan disebutkan ciri-ciri yang menonjol dari masing-masing jenis anak dengan kebutuhan khusus. [4]
a.    Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil/ besar,
b.    Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia,
c.    Perkembangan bicara/bahasa terlambat,
d.   Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan (pandangan kosong),
e.    Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali),
f.     Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler)

b.      Klasifikasi anak tunagrahita
1)   Tunagrahita ringan
Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Anak terbelakang mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen. Pada umumnya anak tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik.
2)   Tunagrahita sedang
Anak tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memiliki IQ 51-36 pada Skala Binet dan 54-40 menurut Skala Weschler (WISC). Anak terbelakang mental sedang bisa mencapai perkembangan MA sampai kurang lebih 7 tahun.
3)   Tunagrahita berat 
Kelompok anak tunagrahita berat sering disebut idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat dan sangat berat. Tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala Biner dan antara 39-25 menurut Skala Weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ dibawah 19 menurut Skala Binet dan IQ dibawah 24 menurut Skala Weschler (WISC). Kemampuan maksimal yang dapat dicapai kurang dari tiga tahun. 
c.       Perkembangan anak tunagrahita
1)   Perkembangan fisik anak tunagrahita
Fungsi-fungsi perkembangan anak tunagrahita itu ada yang tertinggal jauh oleh anak nornal. Diantara fungsi-fungsi yang menyamai atau hampir menyamai anak normal ialah fungsi perkembangan jasmani dan motorik.
Perkembangan jasmani dan motorik anak tunagrahita tidak secepat perkembangan anak normal sebagaimana banyak ditulis orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesegaran jasmani anak terbelakang mental atau tunagrahita yang memiliki MA 2 tahun sampai dengan 12 tahun ada dalam kategori kurang sekali. Sedang anak normal pada umur yang sama ada dalam kategori kurang (Umardjani Martasuta, 1984). Dengan demikian tingkat kesegaran jasmani anak tugrahita setingkat lebih rendah dibanding dengan anak normal pada umur yang sama. 
2)   Perkembangan kognitif anak tunagrahita
Suppes (1974) menjelaskan bahwa kognisi merupakan bidang yang luas yang meliputi semua keterampilan akademik yang berhubungan dengan wilayah persepsi. Ahli-ahli psikologi perkembangan berusaha untuk memahami mekanisme perubahan kognitif pada berbagai perkembangan kognitif.
Dalam hal kecepatan belajar (learning rate), anak tunagrahita jauh ketinggalan oleh anak normal. Untuk mencapai kriteria-kriteria yang dicapai oleh anak normal, anak tunagrahita lebih banyak memerlukan ulangan tentang bahan tersebut. Dalam kaitannya dengan makna pelajaran, ternyata anak tunagrahita dapat mencapai prestasi lebih baik dalam tugas-tugas diskriminasi (misalnya mengumpulkan bentuk-bentuk yang berbeda, memisahkan pola-pola yang berbeda, dsb) jika mereka melakukannya dengan pengertian.
Berkenaan dengan memori, anak tunagrahita berbeda dengan anak normal pada short term memory. Anak tunagrahita tampaknya tidak berbeda dengan anak normal dalam long term memory, daya ingatnya sama dengan anak normal. Akan tetapi bukti-bukti menunjukkan anak tunagrahita berbeda dengan anak normal dalam hal mengingat yang segera (immediate memory).  
3)   Perkembangan bahasa anak tunagrahita
Bahasa didefinisikan oleh Myklebust (1955) sebagai perilaku simbolik mencakup kemampuan mengikhtisarkan, mengikatkan kata-kata dengan arti, dan menggunakannya sebagai simbol untuk berpikir dan mengekspresikan ide, maksud, dan perasaan.
Secara umum  perkembangan bahasa digambarkan sebagai berikut:
a)   Inner language
Inner Language adalah aspek bahasa yang pertama berkembang. Muncul kira-kira pada usia 6 bulan. Karakteristik perilaku yang muncul pada tahap ini adalah pembentukan konsep-konsep sederhana, seperti anak mendemonstrasikan pengetahuannya tentang hubungan sederhana antara satu objek dengan objek lainnya.

b)   Receptive language
Setelah inner language berkembang, maka tahap berikutnya adalah receptive language. Anak pada usia kira-kira 8 bulan mulai mengerti sedikit-sedikit tentang apa yang dikatakan orang lain kepadanya. Anak mulai merespon apabila namanya dipanggil dan mulai sedikit mengerti perintah. Menjelang kira-kira umur 4 tahun, anak lebih menguasai kemahiran mendengar dan setelah itu proses penerimaan (receptive process) memberikan perluasan kepada sistem bahasa verbal. 

c)    Expressive language
Aspek terakhir dari perkembangan bahasa adalah bahasa ekspresif (expressive language). Menurut Myklebust expressive language berkembang setelah pemantapan pemahaman. Bahasa ekspresif anak muncul pada usia kira-kira satu tahun. Perkembangan bahasa erat kaitannya dengan perkembangan kognisi, keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Perkembangan kognisi anak tunagrahita mengalami hambatan, karenanya perkembangan bahasanya juga dapat terhambat.   
4)   Emosi, penyesuaian sosial, dan kepribadian anak tunagrahita
Perkembangan dorongan (drive) dan emosi berkaitan dengan derajat ketunagrahitaan seorang anak. Anak tunagrahita berat tidak dapat menunjukkan dorongan pemeliharaan dirinya sendiri. Mereka tidak bisa menunjukkan rasa lapar atau haus dan tidak dapat menghindari bahaya. Pada anak tunagrahita sedang, dorongan berkembang lebih baik tetapi kehidupan emosinya terbatas pada emosi-emosi yang  sederhana.
Pada anak terbelakang ringan, kehidupan emosinya tidak jauh berbeda dengan anak normal, akan tetapi tidak sekaya anak normal. Anak tunagrahita dapat memperlihatkan kesedihan tetapi sukar untuk menggambarkan suasana terharu. Mereka bisa mengekspresikan kegembiraan tetapi sulit mengungkapkan kekaguman.
Penyesuaian diri merupakan proses psikologis yang terjadi ketika kita menghadapi berbagai situasi. Seperti anak normal, anak tunagrahita akan menghayati suatu emosi, jika kebutuhannya terhalangi. Emosi-emosi ini tampak pada anak tunagrahita yang masih muda terhadap peristiwa-peristiwa yang bersifat konkret. Anak terbelakang yang masih muda akan merasa takut terhadap hal-hal yang berkenaan dengan hubungan sosial.
Tingkah laku sosial, tingkah laku keterikatan dan ketergantungan adalah kontak anak dengan orang dewasa (orang lain). Masalah keterikatan anak dan ketergantungan anak terbelakang telah diteliti oleh Zigler (1961) dan Steneman (1962,1969). Seperti halnya anak normal, anak tunagrahita yang masih muda mula-mula memiliki tingkah laku keterikatan kepada orang tua dan orang dewasa lainnya.    
d.      Dampak ketunagrahitaan
Orang yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa penanganan anak tunagrahita merupakan resiko psikiatri keluarga. Keluarga anak tunagrahita berada dalam resiko, mereka menghadapi resiko yang berat. Saudara-saudara anak tersebut pun menghadapi hal-hal yang bersifat emosional.
Saat yang kritis adalah ketika keluarga itu pertama kali menyadari bahwa anak mereka tidak normal seperti anak lainnya. Jika anak tersebut menunjukkan gejala-gejala kelainan fisik, maka kelainan anak dapat segera diketahui sejak anak dilahirkan. Tetapi jika anak tersebut tidak mempunyai kelainan fisik, maka orang tua hanya akan mengetahui dari hasil pemeriksaan. Cara menyampaikan hasil pemeriksaan sangatlah penting. Orang tua mungkin menolak kenyataan atau menerima dengan beberapa persyaratan tertentu.
Lahirnya anak cacat (tunagrahita) selalu merupakan tragedi. Reaksi orang tua berbeda-beda tergantung pada berbagai faktor, misalnya apakah kecacatan tersebut dapat segera diketahuinya atau terlambat diketahuinya. Faktor lain yang juga sangat penting ialah derajat ketunagrahitaannya dan jelas tidaknya kecacatan tersebut terlihat orang lain.  

3.    Implikasi Pendidikan
Anak yang memiliki intelegensi abnormal, baik sangat tinggi (superior) maupun yang sangat rendah (inferior) sama-sama menimbulkan masalah bila ditinjau dari dunia pendidikan. Pentingnya makna perbedaan individual, khususnya dalam hal ini perbedaan intelegensi, membawa kesadaran dalam dunia pendidikan akan perlunya perlakuan khusus terhadap anak didik yang tergolong memiliki intelegensi begitu rendah sehingga kemampuan belajarnya sangat terbatas memerlukan program khusus yang memungkinkan mereka belajar dengan beban dan kecepatan yang sesuai dengan keterbatasan mereka. Pada sisi lain, anak yang memiliki kemampuan superior pun memerlukan program khusus yang memungkinkan mereka mengembangkan segenap potensi berlebih yang mereka punyai sehingga dapat mencapai prestasi yang optimal dan tidak menimbulkan problem psikologi lain.[5]
Tidaklah bijaksana untuk memperlakukan sama anak-anak yang memiliki potensi berbeda semata-mata karena mereka kebetulan duduk di kelas yang sama. Anak yang lambat belajar (slow learner) akan merasakan siksaan di sekolah maupun di rumah karena ketidakmampuan mereka mengikuti pelajaran sebagaimana teman-teman sekelasnya. Anak-anak ini merasa rendah diri, kadang-kadang sampai menarik diri dari pergaulan dan meraasa tidak pernah dapat sejajar dengan teman-temannya.
Sebaliknya, anak yang superior tidak kurang mendatangkan masalah. Mereka merasa menerima pelajaran yang terlalu mudah bagi diri mereka. Mereka cenderung melihat teman-temannya sebagai terlalu bodoh.
Di Indonesia, sekolah khusus untuk anak yang berkemampuan inferior telah banyak didirikan dan dikenal sebagai sekolah luar biasa dengan kurikulum yang khusus pula bagi mereka.       
Di Indonesia sendiri sekolah luar biasa menjadi lembaga pendidikan yang diminati para orang tua mulai kalangan bawah sampai atas. Efendi (2006) menjelaskan berdasarkan urutan sejarah berdirinya SLB pertama untuk masing-masing kategori kecacatan SLB itu di kelompokkan menjadi : (1) SLB bagian A untuk anak tuna netra, (2) SLB bagian B untuk anak tuna rungu, (3) SLB bagian C untuk anak tuna Grahita, (4) SLB bagian D untuk anak tuna daksa, (5) SLB bagian E untuk anak tuna laras, (6) dan SLB bagian F untuk anak cacat ganda.
Dengan pemberian layanan pendidikan khusus yang relevan dengan kebutuhannya, sisa potensi yang dimiliki oleh anak berkelainan diharapkan dapat berkembang secara optimum (Efendi, 2006). Banyak anak dengan retardasi mental menjadi lebih baik seiring berjalannya waktu, terutama bila mereka mendapatkan dukungan, bimbingan dan kesempatan pendidikan yang besar dari lingkungan. Mereka yang tumbuh dalam lingkungan yang kurang mendukung dapat mengalami kegagalan untuk berkembang atau kemunduran dalam hubungannya dengan anak-anak lain (Nevid, 2005). [6]

D.  KESIMPULAN
1.    Pengertian Keterbelakangan Mental
Keterbelakangan mental disebut juga dengan tunagrahita. Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Retardasi mental ialah keadaan dengan intelegensi yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa anak).
2.    Karakteristik, Klasifikasi, Perkembangan serta Dampak Keterbelakangan Mental
a.    Karakteristik umum tunagrahita
1)   Keterbatasan intelegensi
2)   Keterbatasan sosial
3)   Keterbatasan fungsi-fungsi mental lainnya
b.    Klasifikasi anak tunagrahita
1)   Tunagrahita ringan
2)   Tunagrahita sedang
3)   Tunagrahita berat 
c.    Perkembangan anak tunagrahita
1)   Perkembangan fisik anak tunagrahita
2)   Perkembangan kognitif anak tunagrahita
3)   Perkembangan bahasa anak tunagrahita
4)   Emosi, penyesuaian sosial, dan kepribadian anak tunagrahita
d.   Dampak ketunagrahitaan
Orang yang paling banyak menanggung beban akibat ketunagrahitaan adalah orang tua dan keluarga anak tersebut. Oleh sebab itu, dikatakan bahwa penanganan anak tunagrahita merupakan resiko psikiatri keluarga.
3.    Implikasi Pendidikan
Dengan pemberian layanan pendidikan khusus yang relevan dengan kebutuhannya, sisa potensi yang dimiliki oleh anak berkelainan diharapkan dapat berkembang secara optimum

E.  PENUTUP
Demikian pembahasan dari makalah kami, semoga bermanfaat dan dapat menambah ilmu pengetahuan kita tentang keterbelakangan mental. Saran dan kritik yang membangun tak lupa kami harapkan demi kebenaran dari makalah kami selanjutnya, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA
http://10117nm.blogspot.com/2011/05/bagaimanakah-sebaiknya-pendidikan-untuk.html
http://jakartahomeschoolingmyblog.wordpress.com/perihal/anak-dengan-kebutuhan-khusus-dan-identifikasinya/
Muzdalifah, Psikologi Pendidikan, STAIN Kudus, Kudus, 2008
T. Sutjihati Somantri, M.Si., psi., Psikologi Anak Luar  Biasa, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006



[1] T. Sutjihati Somantri, M.Si., psi., Psikologi Anak Luar  Biasa, PT. Refika Aditama, Bandung, 2006, hal.103
[2] Muzdalifah, Psikologi Pendidikan, STAIN Kudus, Kudus, 2008, hal.183
[3] T. Sutjihati Somantri, Op.cit., hal. 104
[4] http://jakartahomeschoolingmyblog.wordpress.com/perihal/anak-dengan-kebutuhan-khusus-dan-identifikasinya/
[5] Muzdalifah, Op.Cit., hal 195-196
[6] http://10117nm.blogspot.com/2011/05/bagaimanakah-sebaiknya-pendidikan-untuk.html

2 komentar: