Selasa, 06 Mei 2014

HAKIM, MAHKUM FIH, dan MAHKUM ‘ALAIH



                                                
HAKIM, MAHKUM FIH, dan MAHKUM ‘ALAIH

I.      PENDAHULUAN
Atas dasar bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (lawgiver) adalah Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi hukum Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran itu membimbing dan memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Harus kita ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai muslim selaluberhubungan dan tidak pernah terlepas dari hukum syar’i. Karena hukum syar’i selalu melekat pada diri seorang muslim. Jadi hukum syar’i akan selalu eksis selama muslim itu masih eksis. Oleh karena itu, muslim perlu mempelajari dan memahami masalah-masalahtentang hukum syar’i.

II.      PEMBAHASAN
1.         Hakim
Di antara masalah yang sangat penting yang harus dijelaskan dalam kajian syari'at Islam, ialah mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan hukum, yakni siapakah Sang Pembuat Hukum (Al-Hakim) itu. Sebab pengetahuan terhadap Al Hakim akan membawa pengetahuan terhadap hukum dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Yang dimaksud dengan hakim di sini bukanlah pemegang kekuasaan (pemerintahan), tetapi Al Hakim di sini adalah siapa yang berhak mengeluarkan hukum atas perbuatan manusia (Al Af'aal) dan atas benda-benda (Al-Asy-yaa').
Hakim secara etimologi, mempunyai dua pengertian[1] :
وَاضِعُ الْاَحْكَام وَمُثَبَّتُهَا وَمُنْثِئُهَا وَمَصَدِّرُهَا
“Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum”.
الَّذِيْ يُدْرِكُ الْاَحْكَامِ وَيَظْهَرُ هَا وَيُعَرِّفُهَا وَيَكْشِفُ عَنْهَا
“Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkapkan hukum”.
Pengertian hukum menurut ulama ushul adalah Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, ini mengisyaratkan bahwa al-Hakim adalah Allah.  Para ulama telah sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim adalah Allah SWT dan tidak ada syari’at (undang-undang) yang sah melainkan dari Allah, karena hukum menurut mereka adalah khitab (pernyataan) al syari’( Allah) yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik itu tuntutan, pilihan ataupun hukum wadli (sebab, syarat, dan mani’).[2] Al Qur’an telah mengisyaratkan hal ini dengan firman Allah:
ö@è% ÎoTÎ) 4n?tã 7puZÉit/ `ÏiB În1§ OçFö/¤Ÿ2ur ¾ÏmÎ/ 4 $tB ÏZÏã $tB šcqè=ÉÚ÷ètGó¡n@ ÿ¾ÏmÎ/ 4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# žwÎ) ¬! ( Èà)tƒ ¨,ysø9$# ( uqèdur çŽöyz tû,Î#ÅÁ»xÿø9$# ÇÎÐÈ  
Katakanlah (Muhammad), Aku (berada) diatas keterangan yang nyata (al-Qur’an ) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan adzab) yangkamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu)  hanyalah hak  Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik. (QS.Al-An’am: 57)
Dari sini jelas pula, bahwa yang memiliki wewenang menetapkan dan membuat hukum adalah Allah SWT. Sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para Rasul-Nya. Beliau-beliau inilah yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia.[3] Mereka adalah para rasul Allah serta para ulama’ sebagai pewaris beliau.
Ketika rasul sudah diutus dan seruannya telah sampai kepada manusia, maka disini tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang menjadi al-hakim terhadap perbuatan mereka adalah Allah SWT. Yang menjadi perselisihan adalah tentang siapakah yang menjadi al-hakim terhadap perbuatan mukallaf sebelum rasul diutus. Dengan kata lain sebelum rasul diutus, bagaimana kriteria baik buruknya suatu perbuatan.[4]
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa sebelum diutus, akal manusia itulah yang menjadi hakim, karena akal manusia dapat mengetahui baik buruknya suatu perbuatan, baik berdasar pada hakikat atau sifat perbuatan itu. Dasar mazhab ini, bahwa baik dari perbuatan itu bila mengandung keuntungan, perbuatan jelek karena mengandung madharat.[5]
Golongan Asy’ariyah berpendapat bahwa sebelum diutusnya rasul dan seruannya sampai kepada seseorang atau komunitas, seluruh perbuatan mukallaf tidak diberi hukum. Artinya pada perbuatan itu tidak berlaku sanksi atau pahala. Berbuat baik tidak ada pahala dan berbuat jahat tidak ada sanksi padanya. Baik menurut golongan ini adalah perbuatan yang mukallaf diperintahkan untuk melaksanakannya oleh syari’ dan perbuatan buruk adalah yang dilarang melakukannya oleh syari’. Dengan lain ungkapan penentuan baik buruk sebuah perbuatan itu oleh syari’ (Allah SWT), bukan akal manusia.
Kekuasaan kehakiman yang diberikan Allah SWT kepada Rasulullah SAW juga dapat kita lihat dengan jelas dalam al-Qur’an pada surah An-Nisa ayat 105 yang
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# !$oÿÏ3 y71ur& ª!$# 4 Ÿwur `ä3s? tûüÏZͬ!$yù=Ïj9 $VJÅÁyz ÇÊÉÎÈ  
Artinya: sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah diwahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi (orang yang tidak bersalah) karena membela orang-orang berkhianat.
 Dari arti ayat di atas jelas diutusnya Rasul oleh Allah Swt di samping sebagai Kepala Negara, juga sebagai pengendali kekuasaan kehakiman (Hakim) yang memutus perkara yang timbul dalam masyarakat. Nabi Muhammad Saw sebagai Hakim sedangkan pewaris para Nabi adalah ulama, maka ulama itu adalah kepercayaan para Rasul, oleh karena itu Hakim dalam kapasitasnya sebagai pengendali keadilan dan kebenaran adalah ahli waris para Rasul. Sedangkan ahli waris dan kepercayaan para Rasul itu adalah ulama, dengan demikian tidak dapat disangkal lagi bahwa Hakim itu adalah ulama.

2.          Mahkum Fih
Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan المحكم فيه adalah objek hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syar'i, yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukshah, sah, serta batal.[6]
Misalnya firman Allah:
يآاَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْ  ابَالْعُقُوْجِ
Artinya :
"hai orang-orang yang beriman, sempurnakanlah janji."
Dalam firman Allah tersebut yang dimaksud dengan mahkum fih adalah menyempurnakan janji sebab bertalian dengan ijab, maka hukumnya adalah wajib :
Syarat Sahnya tuntunan dengan perbuatan disyaratkan dengan adanya 3 syarat :
1.      Perbuatan itu benar-benar diketahui oleh mukallaf, sehingga dia dapat mengerjakan tuntutan itu sesuai yang diperintahkan. Misalnya,  firman Allah SWT :  اَقِيْمُوْا الصَّلوةَ
Artinya : "Dirikanlah shalat"
Dalam nash Al-Qur'an belum dijelaskan rukun-rukun shalat,            syarat-syaratnya, dan cara-cara menunaikannya. Sebab nash                 Al-Qur'an itu sifatnya masih global. Maka Rasulullah menjelaskan nash Al-Qur'an tersebut :
صَلُّوْا كَمَارَأَيْتُمُوْنِى اُصَلِّى
Artinya : "Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sedang menunauikan shalat".
Jadi tidak sah menggunakan khitob yang global sebab hal tersebut tidak diketahui maksudnya. Kecuali setelah ada penjelasan mengenai hal itu.[7]
2.      Tuntutan itu keluar dari orang yang punya kuasa menuntut atau dari orang yang wajib diikuti hukum-hukumnya oleh mukalla. Misalnya : hakim itu mengeluarkan undang-undan atas dasar keputusan majelis kabinet dan dengan persetujuan parlemen supaya orang-orang mukallaf mengetahui bahwa undang-undang itu keluar dari orang yang punya kekuasaan membuat hukum sehingga mereka akan berupaya melaksanakannya.
3.      Perbuatan yang dituntut adalah perbuatan yang mungkin                     (bisa dilakukan).
Dari syarat ini bercabanglah 2 (dua) hal :
a.       Menurut syara' tidak sah membebani hal yang mustahil (yang tidak mungkin bisa dilakukan). Misalnya : mengumpulkan dua hal yang berlawanan. Contoh : tidur dan bangun di waktu yang sama.
Pendapat ulama ushuliyah :
الشخص الواحد فى الوقت الواحد بالشئ الواحد لايئ مر ولا ينهى
"Satu orang dalam satu waktu dengan satu hal tidak bisa diperintah dan tidak bisa dilarang".[8]
b.      Menurut syara' tidak sah membebani mukallaf agar selain dia mengerjakan perbuatan atau mencegahnya.
Contoh :
لاَتَمُوتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Artinya :
"Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam" (Q.S. Al-Baqarah : 132).
Lahirnya adalah membebani mereka sekarang agar mereka itu ketika mati dalam keadaan Islam.[9]
Dalam setiap perbuatan yang dibebankan manusia pastilah ada kesulitan, karena beban (taklif) itu adalah menetapkan suatu yang mengandung kesulitan.
Hanya saja kesulitan (masyaqat) itu ada 2 (dua) macam :
1.      Kesulitan yang sudah menjadi kebiasaan manusia untuk menanggungnya dan kesulitan itu masih ada batas-batas kemampuan mereka.
Contoh : manusia mencari rizki dengan bercocok tanam, berdagang.
2.      Kesulitan yang keluar dari pada kebiasaan manusia. Dan tidak mungkin mereka menanggunya.
Contoh : Bernadzar puasa seumur hidup.
Rasulullah SAW bersabda kepada seseoang yang nadzar hendak berpuasa sambil berdiri menghadap matahari.[10]
اَتِمَّ صَوْمَكَ وَلاَ تَقُمْ فِى الشَّمْسِ
Artinya :
"Sempurnakanlah puasamu, dan jangan berdiri menghadap matahari."
3.          Mahkum alaih
Para ulama usul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih       (  اَلْمَحْكُمْ عَلَيْهِ  ) adalah seseorang yang dikenai khitab allah ta’ala, yang disebutkan dengan mukallaf (اَلْمُكَلَّفُ  ). Secara etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam usul fiqih,istilah mukallaf disebut juga mahkum alaih (dalam subjek). Orang mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Apabila ia mengerjakan perintah Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.[11] 
Mengenai sahnya memberi beban kepada mukallaf, dalam syara disyaratkan dua syarat:
Pertama : Mukallaf dapat memahami dalil taklif, seperti jika dia mampu memahami nash-nash undang-undang yang dibebankan dari al-Quran dan as-Sunnah dengan langsung atau dengan perantara. Karena orang yang tidak mampu memahami taklif, dia tidak dapat mengikuti yang dibebankan kepadanya, dan tujuannya tidak mengarah kesana. Sedangkan kemampuan memahami dalil itu hanya nyata dalam akal, dan dengan adanya nash-nash yang dibebankan kepada orang-orang yang punya akal itu dapat diterima pemahamanya oleh akal mereka. Karena akal itu adalah alat untuk memahami dan menjangkau.[12]
Adapun orang-orang tidak mengerti bahasa Arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil tuntutan syara dari al-Quran dan as-Sunnah,maka jalan keluarnya untuk menagtasinya ditempuh melalui beberapa jalan, yaitu:
  1. Menerjemahkan Al-Qur’an dan As Sunnah ke dalam beberapa bahasa, atau ke dalam bahasa mereka.
  2. Menyeru orang yang tidak mengetahui bahasa arab untuk mempelajari bahasa arab agar dapat kita sampaikan Al-Qur’an dan As Sunnah.
  3. Wajib kita mengadakan segolongan dari umat kita untuk mempelajari bahasa asing dengan sempurna, guna menyampaikan Al-Qur’an dan As Sunnah kepada orang asing itu.[13] 
Dalil kewajiban itu berdasarkan :
اَن يَبْلُغَ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الغَائِبِ   
Artinya :”Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir diantara kamu.[14]
Kedua: Mukallaf adalah orang yang ahli sesuatu yang dibebankan kepadanya. Pengertian ahli menurut bahasa adalah kelayakan atau layak, (seperti bila) dikatakan :
   “fullan adalah ahli (    فلات أهل النظرعلى الوقف    )(layak) memelihara wakaf “,       artinya ialah صالح له = “ layak baginya”
Sedangkan menurut ulama usul : ahli (layak) itu terbagi kepada dua bagian yaitu : ahli wajib dan ahli melaksanakan
a.       Ahli Wajib (Ahliyyatul Wujub)
        اَهْلِيَّةُ الوُجُوْبِadalah kepantasan seseorang mempunyai hak dan kewajiban.
Ø  Yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang harus diterimanya dari orang lain.
Ø  Kewajiban adalah sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain. [15]
Jadi ahliyyatul wujub itu adalah kelayakan seseorang untuk ada padanya dalam  keputusan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban kepada orang lain.
b.      Ahli Melaksanakan (Ahliyyatul Ada’)
 اَهْلِيَّةُ اْلاَدَاءِ    adalah kepantasan seorang mukallaf yang ucapan dan perbuatannya diperhitungkan oleh syara’[16]. Sekira apabila keluar dari padanya akad (contract) tasharruf (pengelolaan ), maka menurut syara akad  atau tasharruf itu bisa diperhitungkan adanya, dan terjadi tertib hukum atasnya. Apabila mukallaf mendirikan shalat, atau puasa atau mengerjakan kewajiban apa saja, maka semua itu menurut syara’ bisa diperhitungkan, dan bisa menggugurkan kewajiban mukallaf. Dan apabila mukallaf membuat pidana atas orang lain dalm soal jiwa, harta, kehormatan, maka dia dihukum sesuai dengan pidananya itu dengan bentuk fisik dan harta.
Keadaaan Manusia Dihubungkan dengan Kewajiban-kewajiban yang Ada Adanya (Ahliyyatul Wujub)
Keadaan manusia bila dihubungkan kepada Ahliyyatul Wujub mempunyai dua keadaaan, yaitu :
1.      Kadang-kadang manusia mempunyai keahlian wajib dengan tidak sempurna, apabila patut baginya atasnya beberapa kewajiban, atau sebaliknya. Contohmya adalah janin yang ada dalam perut ibunya, dia mempunyai ketetapan beberapa hak, karena dia bisa menerima harta pustaka dan bisa menerima wasiat, dan bisa menerima hak dalam seperempat (1/4)harta wakaf, tetapi tidak wajib atasnya kewajiban-kewajiban terhadap orang lain. Jadi keahlian wajib wajib yang tetap bagi dia yang tidak sempurna.
2.      Kadang-kadang manusia mempunyai keahlian wajib secara sempurna,apabila patut baginya beberapa hak,dan atasnya beberapa kewajiban, keahlian ini tetapi bagi setiap manusia sejak dari dia dilahirkan. Jadi manusia itu mulai dari kekanak-kanakanya sampai usia remaja dan sesudah dewasanya dalam keadaan bagaimanapun, menurut perkembangan hidupnya, dia mempunyai keahlian wajib secara sempurna. Seperti telah kami urauikan diatas ,tidak ada manusia yang tidak mempunyai keahlian wajib.

Keadaan Manusia Dihubungkan Kepada Beban Melaksanakan (Ahliyyatul Ada’).
Manusia itu bila dihubungkan kepada keahlian melaksanakan (Ahliyyatul Ada’) mempunyai tiga keadaan yaitu:
1.      Kadang-kadang manusia itu tidak mempunyai keahlian melaksanakan sama sekali, atau kehilangan melakukan keahlian sama sekali. Inilah anak-anak zaman kekanak-kanakannya dan orang gila pada usia berapa saja. Maka masing –masing anak dan orang gila itu, karena tidak mempunyai akal, mereka tidak mempunyai keahlian melaksanakan, dan dari pada masing-masing mereka, tidak terjadi pengaruh-pengaruh syara’ atas ucapannya dan tidak pula atas perbuatannya. Inilah arti pendapat fuqaha yang berbunyi :
     عَمْدُ الكِّفْلِ أَوِ الْمَجْنُوْتِ جَطَاٌ
    “ kesenjangan anak-anak atau orang gila, adalah keliru (luput) “
Karena selam tidak ada akal, tidak terdapat tujuan, amak tidak terdapat pula unsur kesenjangan.[17]
2.      Kadang-kadang manusia itu tidak sempurna keahliannya melaksanaka. Yaitu anak usia remaja sebelum dia baligh. Termasuk pula orang yang kurang akal itu tidak cacat akalnya dan tidak pula kehilangan akalnya. Tetapi ndia itu lemah dan kurang akal. Masing-masing dari anak yang kurang akal itu, karena da dan tetapnya asal keahlian melaksanakan baginya lantaran keremajaan. Amak sahlah pengelolaannya yang berguna baginya secara murni.
3.      Kadang-kadang manusia itu sempurna keahliannya ,melaksanakan. Yaitu orang telah sampai pada usia dewasa dan berakal. Maka keahlian melaksanakn yang sempurna dapoat terealisir dengan kedewasaan mnusia dan berakal.

Korelasi antara hakim, mahkum fih dan mahkum alaih

1. Korelasi antara hakim dengan mahkum fih
Hubungan antara hakim dengan mahkum fih adalah bahwa hakim adalah sang pembuat hukum sedangkan mahkum fih adalah objek yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi apabila tanpa adanya mahkum fih maka hakim tidak akan nyata, dan apabila mahkum fih secara substansi perbuatan dan sandaran berkaitan dengan hokum syar’i maka yang menghukumi adalah hakim.[18]
2. Korelasi antara hakim dengan mahkum alaih
Hubungan antara hakim dengan mahkum alaih adalah bahwa hakim adalah sang pembuat hukum sedangkan mahkum alaih adalah subjek yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi apabila tanpa adanya hakim maka mahkum alaih tidak akan nyata, dan apabila orang mahkum alaih melakukan suatu pelanggaran baik berkaitan dengan Allah (hakim) langsung atau berkaitan dengan sesama mahkum alaih maka yang menghukumi adalah hakim.[19]

III.      KESIMPULAN
Al-Hakim yang muthlaq hanyalah Allah SWT. Namun, dengan adanya manusia maka untuk menegakkan hukum-Nya, Allah mengutus Rasul untuk menyampaikan risalah tersebut. Kemudian setelah Nabi tiada, tugas itu menjadi tugas para mujtahid, ulama’, serta umat muslim itu sendiri untuk menegakkan hukum Allah SWT.
Mahkum fih adalah objek hukum yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syar'i, yang bersifat tuntutan mengerjakan, meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, serta halangan.
Mahkum alaih ialah seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syara’.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet ke.6, 1996
Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, PT.Logos Wacana Ilmu, Jakarta,  2000
Drs. Chaerul Umam, dkk.,Ushul Fiqih I, CV. Pusaka Setia, Bandung, 2000
Kamal muchtar, Dkk, Usul Fiqh, PT. Dana Bhakti Wakaf : Yogyakarta
Karim Syafi'i, Fiqih Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2001
Muin Umar,dkk., Ushul Fiqh 1, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, 1985
Drs. Syamsul Bahri, M. Ag., dkk.,. Metodologi Hukum Islam, Teras, Yogyakarta, 2008
Drs. Totok Jumantoro, M.A,dkk.,Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Amzah, T.t, 2005
http://permatacanberra.wordpress.com/category/fiqh/
Drs. H. Yasin, M.Ag, Kaidah kaidah Ushul Fiqh, Idea Press, Yogyakarta,2010



















[1] Drs. Totok Jumantoro, M.A,dkk.,Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Amzah, T.t, 2005
[2] http://permatacanberra.wordpress.com/category/fiqh/
[3] Drs. Muin Umar,dkk., Ushul Fiqh 1, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama RI, 1985, hal. 26
[4] Drs. H. Yasin, M.Ag, Kaidah kaidah Ushul Fiqh, Idea Press, Yogyakarta,2010, hlm.53
[5] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet ke.6, 1996, hal. 150
[6] Drs. Chaerul Umam, dkk.,Ushul Fiqih I, CV. Pusaka Setia, Bandung, 2000, hal. 329
[7] Drs. Totok Jumantoro, M.A,dkk., Op.cit., hal. 186
[8] Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit., hal.201
[9] Karim Syafi'i, Fiqih Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hal. 138.
[10] Abdul Wahab Khallaf, Op. Cit. hal. 211
[11]Drs. Chaerul Umam, dkk., Op.Cit., hal. 327
[12] Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit.,
[13] Kamal muchtar, Dkk, Usul Fiqh, PT. Dana Bhakti Wakaf : Yogyakarta
[14] Drs. Chaerul Umam, dkk., Op. Cit, hal. 328
[15] Drs. Chaerul Umam, dkk.,  Loc.Cit, hal.328
[16] Drs. Chaerul Umam, dkk., Op.Cit,  hal.329
[17] Abdul Wahab Khallaf,Op.Cit,hal 220
[18] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, PT.Logos Wacana Ilmu, Jakarta,  2000, hal. 19
[19] Drs. Syamsul Bahri, M. Ag., dkk.,. Metodologi Hukum Islam, Teras, Yogyakarta, 2008, hal. 17

4 komentar:

  1. izin copas untuk cari bahan buku
    definisi dan pengertian mahkum fih, alaih dan hakimn,

    akan digunakan tapi mohon izin tidak disebutkan sumber karena untuk level buku teks sekolah yg tidak ada catatan kaki

    wassalam
    moh andi ka
    (moh andi ka academia.edu)
    sedang ada order nulis buku

    minat gk kalau ikut nulis dengan honor sederhana ?

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Assalamu'alaikum, yang terhormat pengarang tulisan ini, mohon izin untuk menulis kembali sebagai bahan diskusi di kampus, semoga pengarang berkenan, dan nanti akan di tuliskan daftar pustakanya kembali sebagai informasi...terimakasih

    BalasHapus
  4. Assalamu'alaikum, yang terhormat pengarang tulisan ini, mohon izin untuk menulis kembali sebagai bahan diskusi di kampus, semoga pengarang berkenan, dan nanti akan di tuliskan daftar pustakanya kembali sebagai informasi...terimakasih

    BalasHapus