HAKIM, MAHKUM FIH, dan MAHKUM
‘ALAIH
I.
PENDAHULUAN
Atas dasar
bahwa hukum syara’ itu adalah kehendak Allah tentang tingkah laku manusia
mukallaf, maka dapat dikatakan bahwa pembuat hukum (lawgiver) adalah
Allah SWT. Ketentuan-Nya itu terdapat dalam kumpulan wahyu-Nya yang disebut
Al-Quran. Dengan demikian ditetapkan bahwa Al-Quran itu sumber utama bagi hukum
Islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Quran itu membimbing dan
memberikan petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian
ayat-ayatnya.
Harus kita ketahui bahwa dalam
kehidupan ini, kita sebagai muslim selaluberhubungan dan tidak pernah terlepas dari
hukum syar’i. Karena hukum syar’i selalu melekat pada diri seorang muslim. Jadi
hukum syar’i akan selalu eksis selama muslim itu masih eksis. Oleh karena itu,
muslim perlu mempelajari dan memahami masalah-masalahtentang hukum syar’i.
II.
PEMBAHASAN
1.
Hakim
Di antara masalah yang sangat penting yang harus dijelaskan dalam kajian
syari'at Islam, ialah mengetahui siapa yang berhak mengeluarkan hukum, yakni
siapakah Sang Pembuat Hukum (Al-Hakim) itu. Sebab pengetahuan
terhadap Al Hakim akan membawa pengetahuan terhadap hukum dan hal-hal yang
berkaitan dengannya. Yang dimaksud dengan hakim di sini bukanlah pemegang
kekuasaan (pemerintahan), tetapi Al Hakim di sini adalah siapa yang berhak
mengeluarkan hukum atas perbuatan manusia (Al Af'aal) dan atas benda-benda (Al-Asy-yaa').
Hakim secara etimologi, mempunyai dua pengertian[1] :
وَاضِعُ الْاَحْكَام وَمُثَبَّتُهَا وَمُنْثِئُهَا وَمَصَدِّرُهَا
“Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber
hukum”.
الَّذِيْ يُدْرِكُ الْاَحْكَامِ وَيَظْهَرُ هَا وَيُعَرِّفُهَا وَيَكْشِفُ عَنْهَا
“Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan
menyingkapkan hukum”.
Pengertian
hukum menurut ulama ushul adalah Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf, ini mengisyaratkan bahwa al-Hakim adalah Allah. Para ulama telah
sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim adalah Allah SWT dan tidak ada
syari’at (undang-undang) yang sah melainkan dari Allah, karena hukum menurut
mereka adalah khitab (pernyataan) al syari’( Allah) yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf, baik itu tuntutan, pilihan ataupun hukum wadli (sebab,
syarat, dan mani’).[2]
Al Qur’an telah mengisyaratkan hal ini dengan firman Allah:
ö@è% ÎoTÎ) 4n?tã 7puZÉit/ `ÏiB În1§ OçFö/¤2ur ¾ÏmÎ/ 4 $tB ÏZÏã $tB cqè=ÉÚ÷ètGó¡n@ ÿ¾ÏmÎ/ 4 ÈbÎ) ãNõ3ßÛø9$# wÎ) ¬! ( Èà)t ¨,ysø9$# ( uqèdur çöyz tû,Î#ÅÁ»xÿø9$# ÇÎÐÈ
Katakanlah
(Muhammad), Aku (berada) diatas keterangan yang nyata (al-Qur’an ) dari Tuhanku
sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan adzab)
yangkamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak
Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik.
(QS.Al-An’am: 57)
Dari sini jelas pula, bahwa yang memiliki
wewenang menetapkan dan membuat hukum adalah Allah SWT. Sedangkan yang
memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para Rasul-Nya. Beliau-beliau inilah
yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada umat manusia.[3]
Mereka adalah para rasul Allah serta para ulama’ sebagai pewaris beliau.
Ketika rasul sudah diutus dan seruannya telah
sampai kepada manusia, maka disini tidak ada perbedaan pendapat bahwa yang
menjadi al-hakim terhadap perbuatan mereka adalah Allah SWT. Yang menjadi
perselisihan adalah tentang siapakah yang menjadi al-hakim terhadap perbuatan
mukallaf sebelum rasul diutus. Dengan kata lain sebelum rasul diutus, bagaimana
kriteria baik buruknya suatu perbuatan.[4]
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa sebelum
diutus, akal manusia itulah yang menjadi hakim, karena akal manusia dapat mengetahui
baik buruknya suatu perbuatan, baik berdasar pada hakikat atau sifat perbuatan
itu. Dasar mazhab ini, bahwa baik dari perbuatan itu bila mengandung
keuntungan, perbuatan jelek karena mengandung madharat.[5]
Golongan Asy’ariyah berpendapat bahwa sebelum
diutusnya rasul dan seruannya sampai kepada seseorang atau komunitas, seluruh
perbuatan mukallaf tidak diberi hukum. Artinya pada perbuatan itu tidak berlaku
sanksi atau pahala. Berbuat baik tidak ada pahala dan berbuat jahat tidak ada
sanksi padanya. Baik menurut golongan ini adalah perbuatan yang mukallaf
diperintahkan untuk melaksanakannya oleh syari’ dan perbuatan buruk adalah yang
dilarang melakukannya oleh syari’. Dengan lain ungkapan penentuan baik buruk
sebuah perbuatan itu oleh syari’ (Allah SWT), bukan akal manusia.
Kekuasaan kehakiman yang diberikan Allah SWT
kepada Rasulullah SAW juga dapat kita lihat dengan jelas dalam al-Qur’an pada
surah An-Nisa ayat 105 yang
!$¯RÎ) !$uZø9tRr& y7øs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ zNä3óstGÏ9 tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# !$oÿÏ3 y71ur& ª!$# 4 wur `ä3s? tûüÏZͬ!$yù=Ïj9 $VJÅÁyz ÇÊÉÎÈ
Artinya:
sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah diwahyukan kepadamu
dan janganlah kamu menjadi (orang yang tidak bersalah) karena membela
orang-orang berkhianat.
Dari arti ayat di atas
jelas diutusnya Rasul oleh Allah Swt di samping sebagai Kepala Negara, juga
sebagai pengendali kekuasaan kehakiman (Hakim) yang memutus perkara yang timbul
dalam masyarakat. Nabi Muhammad Saw sebagai Hakim sedangkan pewaris para Nabi
adalah ulama, maka ulama itu adalah kepercayaan para Rasul, oleh karena itu
Hakim dalam kapasitasnya sebagai pengendali keadilan dan kebenaran adalah ahli
waris para Rasul. Sedangkan ahli waris dan kepercayaan para Rasul itu adalah
ulama, dengan demikian tidak dapat disangkal lagi bahwa Hakim itu adalah ulama.
2.
Mahkum Fih
Para ulama
ushul fiqih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan المحكم
فيه
adalah objek hukum, yaitu perbuatan mukallaf yang
berhubungan dengan hukum syar'i, yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan
meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat
syarat, sebab, halangan, azimah, rukshah, sah, serta batal.[6]
Misalnya
firman Allah:
يآاَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْ ابَالْعُقُوْجِ
Artinya :
"hai
orang-orang yang beriman, sempurnakanlah janji."
Dalam firman Allah tersebut yang
dimaksud dengan mahkum fih adalah menyempurnakan janji sebab bertalian dengan
ijab, maka hukumnya adalah wajib :
Syarat Sahnya tuntunan dengan
perbuatan disyaratkan dengan adanya 3 syarat :
1.
Perbuatan itu
benar-benar diketahui oleh mukallaf, sehingga dia dapat mengerjakan tuntutan
itu sesuai yang diperintahkan. Misalnya,
firman Allah SWT : اَقِيْمُوْا
الصَّلوةَ
Artinya : "Dirikanlah
shalat"
Dalam
nash Al-Qur'an belum dijelaskan rukun-rukun shalat, syarat-syaratnya, dan cara-cara
menunaikannya. Sebab nash
Al-Qur'an itu sifatnya masih global. Maka Rasulullah menjelaskan nash
Al-Qur'an tersebut :
صَلُّوْا كَمَارَأَيْتُمُوْنِى اُصَلِّى
Artinya : "Shalatlah
kamu sebagaimana kamu melihat aku sedang menunauikan shalat".
Jadi
tidak sah menggunakan khitob yang global sebab hal tersebut tidak diketahui
maksudnya. Kecuali setelah ada penjelasan mengenai hal itu.[7]
2.
Tuntutan itu keluar
dari orang yang punya kuasa menuntut atau dari orang yang wajib diikuti
hukum-hukumnya oleh mukalla. Misalnya : hakim itu mengeluarkan undang-undan
atas dasar keputusan majelis kabinet dan dengan persetujuan parlemen supaya
orang-orang mukallaf mengetahui bahwa undang-undang itu keluar dari orang yang
punya kekuasaan membuat hukum sehingga mereka akan berupaya melaksanakannya.
3.
Perbuatan yang dituntut
adalah perbuatan yang mungkin (bisa dilakukan).
Dari syarat ini
bercabanglah 2 (dua) hal :
a.
Menurut syara' tidak
sah membebani hal yang mustahil (yang tidak mungkin bisa dilakukan). Misalnya :
mengumpulkan dua hal yang berlawanan. Contoh : tidur dan bangun di waktu yang
sama.
Pendapat ulama
ushuliyah :
الشخص الواحد فى الوقت الواحد بالشئ الواحد لايئ مر
ولا ينهى
"Satu orang dalam satu waktu dengan satu hal tidak bisa
diperintah dan tidak bisa dilarang".[8]
b.
Menurut syara' tidak
sah membebani mukallaf agar selain dia mengerjakan perbuatan atau mencegahnya.
Contoh :
لاَتَمُوتُنَّ
اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Artinya
:
"Maka
janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam" (Q.S.
Al-Baqarah : 132).
Lahirnya
adalah membebani mereka sekarang agar mereka itu ketika mati dalam keadaan
Islam.[9]
Dalam
setiap perbuatan yang dibebankan manusia pastilah ada kesulitan, karena beban (taklif)
itu adalah menetapkan suatu yang mengandung kesulitan.
Hanya
saja kesulitan (masyaqat) itu ada 2 (dua) macam :
1.
Kesulitan yang sudah
menjadi kebiasaan manusia untuk menanggungnya dan kesulitan itu masih ada
batas-batas kemampuan mereka.
Contoh : manusia
mencari rizki dengan bercocok tanam, berdagang.
2.
Kesulitan yang keluar
dari pada kebiasaan manusia. Dan tidak mungkin mereka menanggunya.
Contoh : Bernadzar
puasa seumur hidup.
Rasulullah SAW bersabda
kepada seseoang yang nadzar hendak berpuasa sambil berdiri menghadap matahari.[10]
اَتِمَّ صَوْمَكَ وَلاَ تَقُمْ فِى الشَّمْسِ
Artinya :
"Sempurnakanlah
puasamu, dan jangan berdiri menghadap matahari."
3.
Mahkum alaih
Para ulama usul fiqih mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan mahkum alaih
( اَلْمَحْكُمْ
عَلَيْهِ ) adalah seseorang yang dikenai khitab allah
ta’ala, yang disebutkan dengan mukallaf (اَلْمُكَلَّفُ ). Secara
etimologi, mukallaf berarti yang dibebani hukum. Dalam usul fiqih,istilah
mukallaf disebut juga mahkum alaih (dalam subjek). Orang mukallaf adalah orang
yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Apabila ia mengerjakan perintah
Allah, maka ia mendapat resiko dosa dan kewajibannya belum terpenuhi.[11]
Mengenai sahnya memberi beban
kepada mukallaf, dalam syara disyaratkan dua syarat:
Pertama : Mukallaf dapat memahami
dalil taklif, seperti jika dia mampu memahami nash-nash undang-undang yang
dibebankan dari al-Quran dan as-Sunnah dengan langsung atau dengan perantara.
Karena orang yang tidak mampu memahami taklif, dia tidak dapat mengikuti yang
dibebankan kepadanya, dan tujuannya tidak mengarah kesana. Sedangkan kemampuan memahami
dalil itu hanya nyata dalam akal, dan dengan adanya nash-nash yang dibebankan
kepada orang-orang yang punya akal itu dapat diterima pemahamanya oleh akal
mereka. Karena akal itu adalah alat untuk memahami dan menjangkau.[12]
Adapun orang-orang tidak mengerti
bahasa Arab dan tidak dapat memahami dalil-dalil tuntutan syara dari al-Quran
dan as-Sunnah,maka jalan keluarnya untuk menagtasinya ditempuh melalui beberapa
jalan, yaitu:
- Menerjemahkan Al-Qur’an dan As Sunnah ke dalam beberapa bahasa, atau ke dalam bahasa mereka.
- Menyeru orang yang tidak mengetahui bahasa arab untuk mempelajari bahasa arab agar dapat kita sampaikan Al-Qur’an dan As Sunnah.
- Wajib kita mengadakan segolongan dari umat kita untuk mempelajari bahasa asing dengan sempurna, guna menyampaikan Al-Qur’an dan As Sunnah kepada orang asing itu.[13]
Dalil
kewajiban itu berdasarkan :
اَن يَبْلُغَ الشَّاهِدُ مِنْكُمُ الغَائِبِ
Artinya
:”Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir diantara
kamu.[14]
Kedua: Mukallaf adalah orang yang
ahli sesuatu yang dibebankan kepadanya. Pengertian ahli menurut bahasa adalah
kelayakan atau layak, (seperti bila) dikatakan :
“fullan adalah ahli ( فلات
أهل النظرعلى الوقف )(layak) memelihara wakaf “, artinya ialah صالح
له =
“ layak baginya”
Sedangkan menurut ulama usul : ahli
(layak) itu terbagi kepada dua bagian yaitu : ahli wajib dan ahli melaksanakan
a. Ahli
Wajib (Ahliyyatul Wujub)
اَهْلِيَّةُ
الوُجُوْبِadalah kepantasan seseorang mempunyai
hak dan kewajiban.
Ø Yang
dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang harus diterimanya dari orang lain.
Ø Kewajiban
adalah sesuatu yang harus diberikan kepada orang lain. [15]
Jadi
ahliyyatul wujub itu adalah kelayakan seseorang untuk ada padanya dalam keputusan seseorang untuk menerima haknya
dari orang lain dan memenuhi kewajiban kepada orang lain.
b. Ahli
Melaksanakan (Ahliyyatul Ada’)
اَهْلِيَّةُ
اْلاَدَاءِ adalah
kepantasan seorang mukallaf yang ucapan dan perbuatannya diperhitungkan oleh
syara’[16].
Sekira apabila keluar dari padanya akad (contract) tasharruf (pengelolaan ),
maka menurut syara akad atau tasharruf
itu bisa diperhitungkan adanya, dan terjadi tertib hukum atasnya. Apabila
mukallaf mendirikan shalat, atau puasa atau mengerjakan kewajiban apa saja,
maka semua itu menurut syara’ bisa diperhitungkan, dan bisa menggugurkan
kewajiban mukallaf. Dan apabila mukallaf membuat pidana atas orang lain dalm
soal jiwa, harta, kehormatan, maka dia dihukum sesuai dengan pidananya itu
dengan bentuk fisik dan harta.
Keadaaan
Manusia Dihubungkan dengan Kewajiban-kewajiban yang Ada Adanya (Ahliyyatul
Wujub)
Keadaan manusia bila dihubungkan kepada
Ahliyyatul Wujub mempunyai dua keadaaan, yaitu :
1. Kadang-kadang
manusia mempunyai keahlian wajib dengan tidak sempurna, apabila patut baginya atasnya
beberapa kewajiban, atau sebaliknya. Contohmya adalah janin yang ada dalam
perut ibunya, dia mempunyai ketetapan beberapa hak, karena dia bisa menerima
harta pustaka dan bisa menerima wasiat, dan bisa menerima hak dalam seperempat
(1/4)harta wakaf, tetapi tidak wajib atasnya kewajiban-kewajiban terhadap orang
lain. Jadi keahlian wajib wajib yang tetap bagi dia yang tidak sempurna.
2. Kadang-kadang
manusia mempunyai keahlian wajib secara sempurna,apabila patut baginya beberapa
hak,dan atasnya beberapa kewajiban, keahlian ini tetapi bagi setiap manusia
sejak dari dia dilahirkan. Jadi manusia itu mulai dari kekanak-kanakanya sampai
usia remaja dan sesudah dewasanya dalam keadaan bagaimanapun, menurut
perkembangan hidupnya, dia mempunyai keahlian wajib secara sempurna. Seperti
telah kami urauikan diatas ,tidak ada manusia yang tidak mempunyai keahlian
wajib.
Keadaan Manusia Dihubungkan Kepada Beban Melaksanakan
(Ahliyyatul Ada’).
Manusia itu bila
dihubungkan kepada keahlian melaksanakan (Ahliyyatul Ada’) mempunyai tiga
keadaan yaitu:
1. Kadang-kadang
manusia itu tidak mempunyai keahlian melaksanakan sama sekali, atau kehilangan
melakukan keahlian sama sekali. Inilah anak-anak zaman kekanak-kanakannya dan
orang gila pada usia berapa saja. Maka masing –masing anak dan orang gila itu,
karena tidak mempunyai akal, mereka tidak mempunyai keahlian melaksanakan, dan
dari pada masing-masing mereka, tidak terjadi pengaruh-pengaruh syara’ atas
ucapannya dan tidak pula atas perbuatannya. Inilah arti pendapat fuqaha yang berbunyi
:
عَمْدُ
الكِّفْلِ أَوِ الْمَجْنُوْتِ جَطَاٌ
“
kesenjangan anak-anak atau orang gila, adalah keliru (luput) “
Karena selam tidak ada akal, tidak
terdapat tujuan, amak tidak terdapat pula unsur kesenjangan.[17]
2. Kadang-kadang
manusia itu tidak sempurna keahliannya melaksanaka. Yaitu anak usia remaja
sebelum dia baligh. Termasuk pula orang yang kurang akal itu tidak cacat
akalnya dan tidak pula kehilangan akalnya. Tetapi ndia itu lemah dan kurang
akal. Masing-masing dari anak yang kurang akal itu, karena da dan tetapnya asal
keahlian melaksanakan baginya lantaran keremajaan. Amak sahlah pengelolaannya
yang berguna baginya secara murni.
3. Kadang-kadang
manusia itu sempurna keahliannya ,melaksanakan. Yaitu orang telah sampai pada
usia dewasa dan berakal. Maka keahlian melaksanakn yang sempurna dapoat
terealisir dengan kedewasaan mnusia dan berakal.
Korelasi antara hakim, mahkum fih dan
mahkum alaih
1. Korelasi antara
hakim dengan mahkum fih
Hubungan antara hakim dengan mahkum fih
adalah bahwa hakim adalah sang pembuat hukum sedangkan mahkum fih adalah objek
yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi apabila tanpa
adanya mahkum fih maka hakim tidak akan nyata, dan apabila mahkum fih secara
substansi perbuatan dan sandaran berkaitan dengan hokum syar’i maka yang
menghukumi adalah hakim.[18]
2. Korelasi antara
hakim dengan mahkum alaih
Hubungan antara hakim dengan mahkum
alaih adalah bahwa hakim adalah sang pembuat hukum sedangkan mahkum alaih
adalah subjek yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi
apabila tanpa adanya hakim maka mahkum alaih tidak akan nyata, dan apabila
orang mahkum alaih melakukan suatu pelanggaran baik berkaitan dengan Allah
(hakim) langsung atau berkaitan dengan sesama mahkum alaih maka yang menghukumi
adalah hakim.[19]
III.
KESIMPULAN
Al-Hakim yang muthlaq
hanyalah Allah SWT. Namun, dengan adanya manusia maka untuk menegakkan
hukum-Nya, Allah mengutus Rasul untuk menyampaikan risalah tersebut. Kemudian
setelah Nabi tiada, tugas itu menjadi tugas para mujtahid, ulama’, serta umat
muslim itu sendiri untuk menegakkan hukum Allah SWT.
Mahkum fih adalah objek
hukum yaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan dengan hukum syar'i, yang
bersifat tuntutan mengerjakan, meninggalkan suatu pekerjaan, memilih suatu
pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, serta
halangan.
Mahkum alaih ialah
seorang mukallaf yang perbuatannya berhubungan dengan hukum syara’.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah
Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet ke.6, 1996
Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1,
PT.Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2000
Drs. Chaerul Umam,
dkk.,Ushul Fiqih I, CV. Pusaka Setia, Bandung, 2000
Kamal muchtar, Dkk, Usul
Fiqh, PT. Dana Bhakti Wakaf : Yogyakarta
Karim Syafi'i, Fiqih
Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2001
Muin Umar,dkk., Ushul
Fiqh 1, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen
Agama RI, 1985
Drs. Syamsul Bahri, M.
Ag., dkk.,. Metodologi Hukum Islam,
Teras, Yogyakarta, 2008
Drs. Totok Jumantoro,
M.A,dkk.,Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Amzah, T.t, 2005
http://permatacanberra.wordpress.com/category/fiqh/
Drs. H. Yasin, M.Ag, Kaidah
kaidah Ushul Fiqh, Idea Press, Yogyakarta,2010
[1] Drs. Totok Jumantoro,
M.A,dkk.,Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Amzah, T.t, 2005
[2]
http://permatacanberra.wordpress.com/category/fiqh/
[3] Drs. Muin Umar,dkk., Ushul
Fiqh 1, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Departemen
Agama RI, 1985, hal. 26
[4] Drs. H. Yasin, M.Ag, Kaidah
kaidah Ushul Fiqh, Idea Press, Yogyakarta,2010, hlm.53
[5] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah
Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet ke.6, 1996, hal. 150
[6] Drs. Chaerul Umam, dkk.,Ushul
Fiqih I, CV. Pusaka Setia, Bandung, 2000, hal. 329
[7] Drs. Totok Jumantoro,
M.A,dkk., Op.cit., hal. 186
[8] Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit.,
hal.201
[9] Karim Syafi'i, Fiqih
Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hal. 138.
[10] Abdul Wahab Khallaf, Op.
Cit. hal. 211
[11]Drs. Chaerul Umam, dkk., Op.Cit.,
hal. 327
[12] Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit.,
[13] Kamal muchtar, Dkk, Usul
Fiqh, PT. Dana Bhakti Wakaf : Yogyakarta
[15] Drs. Chaerul Umam, dkk., Loc.Cit,
hal.328
[16] Drs. Chaerul Umam, dkk.,
Op.Cit, hal.329
[17] Abdul Wahab Khallaf,Op.Cit,hal 220
[18] Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, PT.Logos
Wacana Ilmu, Jakarta, 2000, hal. 19
[19] Drs. Syamsul Bahri, M.
Ag., dkk.,. Metodologi Hukum Islam,
Teras, Yogyakarta, 2008, hal. 17
izin copas untuk cari bahan buku
BalasHapusdefinisi dan pengertian mahkum fih, alaih dan hakimn,
akan digunakan tapi mohon izin tidak disebutkan sumber karena untuk level buku teks sekolah yg tidak ada catatan kaki
wassalam
moh andi ka
(moh andi ka academia.edu)
sedang ada order nulis buku
minat gk kalau ikut nulis dengan honor sederhana ?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAssalamu'alaikum, yang terhormat pengarang tulisan ini, mohon izin untuk menulis kembali sebagai bahan diskusi di kampus, semoga pengarang berkenan, dan nanti akan di tuliskan daftar pustakanya kembali sebagai informasi...terimakasih
BalasHapusAssalamu'alaikum, yang terhormat pengarang tulisan ini, mohon izin untuk menulis kembali sebagai bahan diskusi di kampus, semoga pengarang berkenan, dan nanti akan di tuliskan daftar pustakanya kembali sebagai informasi...terimakasih
BalasHapus